Hidup…
Dalam kehidupan ini tidak ada yang pernah sempurna, selalu diselingi
dengan masalah-masalah yang membuat semua orang hampir gila. Manusia
memiliki sifat yang berbeda-beda, dan dari situlah kita dapat mengetahui
sifat manusia yang baik dan yang buruk. Kehidupan yang aku miliki saat
ini mungkin sudah pernah dialami oleh orang lain selain aku. Kehidupan
bernuansa gelap dan kelam. Kehidupan yang mungkin setiap orang tidak
ingin alami. Karena kehidupan yang aku jalani penuh dengan kesunyian dan
ketidakadilan yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Kehidupan kelam
yang sudah mereka berikan kepadaku sejak aku berumur 13 tahun, dan saat
itu aku masih duduk di bangku SMP.
Aku menjalani hidup diiringi dengan cercaan dan hinaan dari
orang-orang yang ada di sekolahku. Tapi dengan cercaan dan hinaan itulah
aku dapat menjalani hidup dengan kuat dan tegar, mengingat Ayah dan
Ibuku bercerai karena kesalahan yang mereka perbuat sendiri. Ya!
Orangtuaku bercerai karena perbuatan mereka sendiri. Aku terlahir
sebagai seorang anak dari pemilik perusahaan yang jaya dan besar. Tetapi
bukan berarti keadaan tersebut membuatku bahagia. Aku tumbuh tanpa
kasih sayang kedua orangtuaku. Ayahku selingkuh dengan perempuan lain
sedangkan Ibuku menganut ilmu gelap yang aku tidak tahu untuk apa. Tapi
hal itu tidak membuatku mundur untuk melanjutkan pendidikan, selama ada
orang yang masih menanggungku. Dan ternyata dengan bersungguh-sungguh
sekolah, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku terkenal sebagai
murid yang berprestasi, walaupun cercaan dan hinaan masih terus
terdengar di telingaku. Dan pada saat aku mencicipi bangku kuliah, di
situlah aku menemukan kebahagiaan yang diberikan oleh seseorang baik
hati dan dermawan. Seseorang yang mungkin membuat orang-orang terkejut
jika mengetahui asal-usulnya.
Semarang, 10 Mei 2009
Pagi itu, seperti pagi-pagi biasa yang telah aku jalani. Bersiap-siap
untuk pergi kuliah. Mandi dan berpakaian, memasukkan buku-buku penting
untuk bahan kuliahku. Aku telah bersiap-siap dan menuruni tangga
rumahku. Menuju dapur dan mencemot sepotong roti berisi selai strawberry
yang telah kusiapkan. Lalu aku mulai naik kembali ke lantai atas,
menuju sebuah ruangan yang sering digunakan Ibuku untuk bersemedi. Ya!
Hak asuh anak jatuh ke tangan Ibuku dengan tipu daya yang ia perbuat,
sehingga perasaan Hakim terlena oleh tipu daya tersebut.
Kubuka pintu ruangan besar itu, di dalam aku melihat Ibuku duduk
bersila dengan mata terpejam. Seluruh ruangan sangat gelap. Sesajen ada
di mana-mana, bau kemenyan mengharumi seluruh ruangan dengan baunya yang
sangat menyengat. Aku sudah terbiasa dengan bau ini sejak kecil. Aku
berjalan mendekati Ibu, terlihat wajah tua Ibuku yang sudah mulai
mengeriput.
“Bu, Ai pergi dulu. Assallamualaikum.”
Karena tidak ada respon, aku beranjak dari ruangan itu.
“Aisyah! Belajarlah untuk mengetok terlebih dahulu!” Bentak Ibuku.
Aku tidak menoleh ke arah Ibuku, aku hanya berdiri membelakanginya di
ambang pintu. Aku sudah terlalu sering dimarahi oleh Ibuku. Bahkan jika
Ibu kesal, dia tidak segan-segan mengguna-gunaku dengan ilmu hitam yang
ia miliki.
“Baik, Bu. Assallammu…” Belum habis aku bicara, Ibu sudah memotong.
“Jangan sekali-kali kamu ucapkan salam seperti itu! Kamu mau membuat Ibu lekas mati?!” Bentak Ibuku, lagi.
Rasa kesal dan marah muncul dalam hatiku. Kelakuan Ibu yang sudah jauh
dari nalar, membuat diriku hampir dibisiki oleh setan. Tapi aku langsung
menutup pintu ruangan sesat yang sering di gunakan Ibuku itu. Aku
berjalan cepat menuju garasi, memasuki mobil Suzuki Fortune. Beranjak
pergi meninggalkan rumahku.
Universitas Hassanudin…
Aku memarkirkan mobilku di parkiran khusus untuk para mahasiswa.
Orang-orang sudah banyak berlalu lalang di sekitar kampus. Ketika aku
keluar dari mobil, orang-orang di sekitarku menatap ngeri terhadapku.
Ya! Kehidupan yang diiringin dengan cercaan dan hinaan masih ada sampai
aku mencicipi bangku kuliah. Seperti yang aku katakan, cercaan dan
hinaan itu membuatku menjalani kehidupan dengan tegar dan kuat. Aku
berjalan melewati orang-orang disertai dengan tatapan ngeri dari mereka.
Mungkin karena raut wajahku ini dan penampilanku. Memang kulitku yang
putih pucat dan rambutku yang panjang serta poni yang sudah mulai
panjang tapi tetap kusisir ke arah depan sehingga memunculkan kesan
seperti kuntilanak hidup yang sedang berjalan di hadapan mereka. Mungkin
karena itulah mereka memberiku tatapan ngeri.
“Eh… eh. Lihat, itu Nur Aisyah. Hii… ngeri, ya? Kenapa sih, dia harus
kuliah di sini? Seharusnya dia berkumpul dengan sebangsa setan.”
“Hush! Jangan bicara seenaknya, tidak baik. Kudengar dia itu anak
seorang perusahaan besar. Tapi perusahaan itu sudah bangkrut dan
keluarganya pun berantakan.”
“Oh… ternyata begitu, tapi seharusnya dia tidak perlu berkelakuan seperti itu. Tapi… mungkin karena kejadian itu dia berubah.”
“Mungkin.”
Aku mendengarnya. Tapi tanpa kusadari, masih ada orang yang mengerti
denganku. Walaupun aku tidak pernah mengetahuinya, tapi aku sangat
bersyukur.
Seperti biasa, kuliah di jurusan Ekonomi Marketing selalu banyak
defenisi-defenisi dan hitungan. Aku yang sedang duduk manis
memperhatikan Dosen Yuda yang tengah menjelaskan ‘Konsep Fisik
Fundamental’. Kulihat di sekelilingku, wajah bosan terpampang dari
sebagian orang-orang yang ada di dalam kelas ini. Dan aku heran.
“Hhh…” Kuhembuskan nafas berat.
Kenapa semua perempuan yang ada di kelas ini memberikan tatapan menawan
kepada Dosen Yuda. Memang, Dosen Yuda adalah Dosen termuda yang ada di
Universitas ini. Dan ia memiliki wajah yang dapat membuat setiap
perempuan ingin menjadi pacarnya.
“Ya, Aisyah. Apakah kamu dapat menjelaskan tentang konsep yang satu ini?” Tanya Dosen Yuda.
Aku mulai berdiri, “Iya. Saya dapat menjelaskannya.”
Aku berjalan ke muka kelas, raut wajah semua perempuan yang tadinya sedang menikmati pesona Dosen Yuda berubah menjadi gersang.
“Haah… kenapa si kuntilanak ini yang menjelaskan?” Rengek salah satu perempuan.
“Iya. Pergi sana! Hush… hush…” Hina perempuan yang lain.
“Kalau kamu keberatan dengan keberadaan Aisyah, kamu dapat
menggantikannya di depan sini. Bagaimana?” tanya Dosen Yuda sambil
tersenyum.
“Errm… tidak usah, deh. Kamu saja yang menjelaskan, Aisyah.” Kata perempuan itu.
Aku hanya diam dan cuma mendengarkan hinaan yang mereka berikan. Tidak
ada rasa kesal. Tapi aku malah tertawa geli dalam hati, melihat ekspresi
perempuan tadi ketika dipersilahkan Dosen Yuda untuk menjelaskan.
“Ya, silahkan Aisyah.” Kata Dosen Yuda.
“Baiklah dalam konsep ini…”
Gelap…
Brrmm…
Suara mesin mobilku berderum keras memasuki halaman rumahku yang cukup
besar. Ya! Rumah besar yang dulu kami huni kembali lagi ke tangan Ibuku
setelah sekian lama disita. Aku tidak tahu, dengan cara apa Ibuku dapat
merebut rumah ini kembali. Tapi aku tidak ingin menjadikan hal ini
sebagai beban, lebih baik kusingkirkan terlebih dahulu. Aku berjalan
menuju pintu besar rumahku, kubuka pintu bergaya mewah itu.
“Assallamualaikum…”
Tidak ada sahutan. Suara Ibuku tidak terdengar. Mungkin masih bersemedi. Pikirku.
Ketika masuk ke dalam rumah, aku terus merasakan suasana yang berbeda
dari sebelumnya. Suasana berbeda dari rumahku, susasana aneh yang
berbeda ketika aku meninggalkan rumah untuk pergi ke kampus. Keadaan
rumah sunyi, terlalu sunyi. Rasa panik dan khawatir mulai muncul di
hatiku.
“Ibu…” Panggilku pada Ibu.
Tidak ada sahutan.
“Ibu…!” Panggilku lagi. Kali ini sedikit berteriak.
Masih tidak ada sahutan.
Refleks. Aku langsung berlari ke lantai atas, menuju pintu besar yang
tak jauh dariku saat itu. Kuraih ganggang pintu. Dan cepat kubuka pintu
besar itu. Terbuka!
“A… a…”
Mahluk apa itu?! Batinku.
Aku terkejut, tubuhku tak dapat kugerakkan. Berkali-kali aku bertanya
dalam hati ‘Mahluk apa itu?!’. kulihat mahluk yang sedang mencekik leher
Ibuku. Mata Ibu membelalak lebar. Mahluk bertubuh hitam dan besar itu
sedang mencoba untuk membunuh Ibuku. Tubuhku beku, tidak dapat
digerakkan. Makin tak dapat ku gerakkan lagi, ketika mahluk itu menoleh
ke arahku. Aku melihat matanya! Mata berwarna merah darah yang melihat
ke arahku seakan-akan ia akan membunuhku juga setelah ia membunuh Ibuku.
Tapi, aku menepiskan rasa takutku kepada mahluk yang ada di depanku
sekarang. Aku bertekad, yang aku takuti cuma Allah SWT. Bukan mahluk
gaib yang sekarang ada di hadapanku ini. Aku berlari menerobos dan
mendorong mahluk itu, tiba-tiba mahluk itu menghilang dengan sendirinya.
Ketika mahluk itu menghilang, aku langsung marangkul Ibuku yang masih
setengah pingsan.
“Ibu… Ibu… Ibu…!” Teriakku.
“Bu… sadar…” Desahku. Dengan terkejut, Ibu terbangun di pelukkanku.
Tapi, tanpa aba-aba Ibuku langsung melepaskan pelukanku dengan kasar.
Dia berdiri, matanya masih terbelalak dan ia melangkah kesana kemari
seperti orang kebingungan. Aku hanya duduk bersimpuh dan cuma melihat
gelagat Ibuku. Pandangan Ibuku beralih kepadaku, kemarahan mulai
terlihat di wajahnya.
“Kamu! Kenapa kamu di sini?!” Bentak Ibuku.
Aku diam.
“Kau tak seharusnya berada di sini!” Aku diam, sekali lagi.
“Keluar! Keluar! KELUAR!!!”
Akhirnya, setelah mendengar teriakan ibuku, aku berdiri dan beranjak
meninggalkan tempat Ibuku bersemedi. Berjalan ke arah yang berlawanan
dari ruangan besar itu di lantai atas. Menuju kamarku yang terletak tak
jauh dari ruangan itu. Aku membuka pintu kamarku, masuk ke dalamnya.
Sesampainya di dalam aku sembarang melempar tas ranselku, kemudian
menghempaskan badanku yang lelah di atas tempat tidur. Mengingat
kejadian yang baru saja terjadi pada Ibu dan juga aku. Hal ini sudah
terjadi ke-24 kalinya. Dulu Ibu hampir terbunuh oleh mahluk gaib yang
kepalanya buntung. Dan setelah aku menyelamatkannya, seperti tadi, dia
membentak dan memarahiku untuk segera keluar dari ruangannya. Aku
memejamkan mata, menjernihkan pkiranku dan mengistirahatkan tubuhku.
Dalam beberapa saat aku masuk ke dalam alam bawah sadarku.
Pukul 03.45 WIB. Dini hari.
Harum embun pada dini hari, membuat mataku kembali terbuka. Suara Azan
berkumandang dari Mesjid kecil yang berada tak jauh dari rumahku. Aku
bangkit dari tempat tidurku, menuju kamar mandi. Mencuci wajahku dan
menggosok gigi. Aku kembali berjalan keluar dari kamar mandi. Seluruh
rumah gelap. Penerangan lampu rumahku tak terlalu terang saat itu. Hanya
ada sebagian tempat yang diterangi oleh lampu. Aku menuju tempat
ber-wudhu, membuka selang dan mancuran air suci pun keluar. Aku
mengusapkan air suci itu ke lengan dan bagian alat gerak yang lainnya.
Membersihkan diri dari kotoran yang tak terlihat. Lalu aku kembali ke
kamarku dan mulai menghadap sang Maha Kuasa.
Aku berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Dikarenakan masih ada urusan
penting yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Seperti biasa, aku
memarkirkan mobilku di parkiran dan berjalan menyusuri koridor
Universitas Hassanudin yang megah.
WHUUS…
Sekelebat angin kencang menerpa tubuhku. Aku hampir terjatuh oleh angin
yang kencang itu. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa di
kampus maupun di sekelilingku. Tapi ketika aku menoleh kembali.
“HAAH!!” Aku terkejut.
Sesosok perempuan berambut panjang tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia
berdiri dengan wajah tertunduk. Tapi aku tidak merasa takut sama sekali.
Aku malah mengajukan pertanyaan kepada perempuan yang ada di depan
mataku ini.
“Permisi, kamu kenapa? Ada perlu apa denganku?” Tanyaku.
“To… to… tolong… a… ku…”
“Hah? Apa? Maaf saya tidak mendengar. Bisa kamu ulangi lagi?”
GREEP…
“TOLONG AKU!”
Tiba-tiba perempuan itu memegang kedua pundakku. Kemudian mendekatkan wajahnya sambil berkata.
“Tolong aku… tolong aku… tolong aku… TOLONG AKU…”
Mataku terbelalak. Melihat mata perempuan itu. Warna merah darah. Warna
yang sama dengan mata mahluk hitam yang menyerang Ibuku kemarin.
Perempuan itu terus mengatakan hal yang sama. Dia terus melihatku dengan
mata merah itu. Mataku masih terbelalak, tubuhku beku tidak dapat
digerakkan seperti waktu itu. Tiba-tiba banyak suara-suara minta tolong
terdengar dari berbagai arah. Lalu…
BUUKK!!
Sesuatu menghantam kepalaku dengan keras. Mataku berkunang-kunang.
Pandanganku mulai tidak jelas. Rasa sakit sudah tak tertahankan lagi.
GEDEBUK!!
Aku jatuh. Terbaring di lantai koridor kampus, mataku masih
berkunang-kunang. Aku melihat perempuan itu masih menatapku. Tersenyum.
Perempuan itu tersenyum lebar melihatku terbaring lemah. Pandanganku
semakin pudar. Lalu yang ada hanyalah… gelap.
1 Tahun Kemudian…
Suara ramai orang-orang berdengung di telingaku. Aku yang sedang duduk
di bawah pohon beringin besar yang ada di halaman kampus, membuat
pandangan semua orang mengarah kepadaku. Mereka terus memberikan tatapan
ngeri karena aku berani duduk di bawah pohon beringin ini. Kata
orang-orang yang ada di kampus, pohon beringin yang berposisi tepat di
tengah halaman kampus terkenal angker. Tapi aku tidak merasa merinding
sama sekali. Malah berbicara dengan orang-orang yang ada di sekitar
pohon sungguh mengasyikkan. Walaupun bentuk mereka agak sedikit
menakutkan.
Sejak kejadian satu tahun lalu, aku mendapatkan bakat dapat melihat
orang-orang yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Kejadian
tragis yang membuatku koma selama 3 minggu. Kejadian yang terjadi di
koridor kampus ini. Perempuan yang telah melakukan sesuatu kepadaku.
Bahkan ketika aku koma, Ibu sama sekali tidak pernah menjenguk maupun
menjagaku. Cuma paman dan bibiku saja yang senantiasa menjaga dan
merawatku.
“BISA DIAM GAK, DEK?!” Suara seseorang membentak.
Aku menoleh ke arah suara itu, yang berada tak jauh dari hadapanku. Oh
iya, aku baru ingat kalau Ospek penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan
hari ini. Kulihat para Senior membentak-bentak para angkatan baru.
Mereka disuruh baris-berbaris, scotjump, push up, sit up, dan hal-hal
yang berkaitan dengan kegiatan fisik dan mental. Sampai-sampai ada salah
satu Junior yang pingsan karena tidak kuat, ada juga yang menangis dan
sebagainya. Sepertinya Ospek yang diadakan tahun ini sangat berat, dan
aku yakin para Senior sangat senang menyiksa Juniornya. Tapi tanpa
kusadari ada salah satu angkatan baru yang sangat aku salut kepadanya.
Laki-laki muda berperawakan sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi…
sebenarnya… ehm, tampan sedikit saja. Aku sangat salut kepada bocah itu,
ia terus berusaha dan tekun sekali mengikuti perintah yang dikatakan
oleh Seniornya. Walaupun kentara jelas di wajahnya bahwa ia sangat
lelah, tetapi ia sangat pintar menyembunyikannya. Aku harus
memperhatikannya dengan teliti terlebih dahulu baru aku tahu ternyata
dia sangat lelah. Anak yang pantang menyerah. Ternyata masih ada orang
yang seperti itu. batinku. Karena terus memperhatikan gerak-geriknya
dalam mengikuti kegiatan Ospek, ternyata aku ketahuan. Tapi memangnya
tidak boleh melihat kegiatan Ospek Juniorku. Ia menatapku ketika sedang
istirahat. Aku langsung membuang muka, dan kembali membaca buku untuk
bahan penjelasanku selanjutnya yang disuruh oleh Dosen Yuda.
Tak beberapa saat aku membaca buku, terdengar suara teriakan centil
seorang perempuan. Aku menoleh, dan tak beberapa centimeter dari
hadapanku segerombolan Senior yang perempuan sedang mengerumuni sesuatu.
Aku yang masih mempunyai rasa penasaran ini, melirik apa yang sedang
mereka kerumuni. Aku mencari celah di antara perempuan itu. Ketika aku
menemukannya, kulihat laki-laki yang aku salut kepada kerja kerasnya.
Ketika melihatnya aku langsung kembali membaca buku lagi. Ternyata bocah
itu cepat terkenal. Batinku.
“Hai…”
Sebuah suara membuyarkan konsetrasiku ketika membaca buku. Aku menoleh,
sesosok lelaki berdiri di hadapanku dengan tersenyum. Hhh… ternyata dia.
Pikirku. Aku hanya menunjukkan ekspresi dingin dan memcoba kembali
membaca bukuku lagi.
“Anu… permisi. Kamu…” Tanyanya.
“Bisakah kau bicara lebih sopan sedikit. Aku ini Seniormu,”
“Aduh maaf, kak. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya cuma mau bertanya.”
Aku menatap bingung pada Junior yang tak kutahu namanya ini. Tanpa pikir panjang aku langsung memperbolehkan dia bertanya.
“Boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Ehm… kenapa kakak duduk sendirian di sini? Di bawah pohon beringin
lagi. Apa tidak apa-apa? Orang-orang ngeliatin kakak dari tadi, terutama
teman-temanku.” Katanya panjang lebar.
“Itu namanya bukan bertanya. Terus kenapa? Memangnya salah kalau aku
duduk di sini? Aku tidak mengusik pikiran mereka, kan?” Kataku, dingin.
“Bukan begitu…”
“AKHMAD…” Panggil seseorang.
Laki-laki yang ada di hadapanku menoleh ke asal suara itu.
“Maaf ya, kak. Teman saya memanggil. Lain kali kita ngobrol-ngobrol, ya.” Katanya, sambil tersenyum lebar.
Aku menghembuskan nafas berat. Aku merasa senyum kecil terlukis di
bibirku. Cuma dia satu-satunya orang yang berani berbicara denganku.
Selain pantang menyerah, dia juga sangat baik hati dan pandai bergaul.
Malam itu menjadi malam yang sangat suram ketika aku berada di rumah.
Akhir-akhir ini aku sering mendengar suara Ibuku sedang berbicara
dengan seseorang. Padahal selama beberapa tahun ini tidak ada satu orang
pun yang berkunjung ke rumah kami. Tetangga kami pun tak pernah
berkunjung. Tapi aku yakin, orang yang berbicara dengan Ibuku bukanlah
manusia. Aku merebahkan kepalaku di atas bantal, dan mulai memejamkan
mataku.
Keesokan harinya aku kembali menjalani hari-hariku di kampus. Aku
dipanggil Dosen dan di suruh untuk segera menyiapkan bahan untuk
Proposal, mengingat bahwa tahun ini adalah tahun terakhirku dalam
kuliah. Ketika aku keluar dari ruang Dosen, dari kejauhan kulihat
laki-laki yang kemarin yang mengajakku berbicara berjalan ke arahku
dengan melambaikan tangannya. Dan aku langsung membelokkan arah tujuanku
kembali ke arah sebaliknya.
“Eh… eh… kak, tunggu…!” Teriaknya.
Aku tak memperdulikan panggilannya dan terus berjalan cepat, berusaha menjauh darinya.
“KAK…! TUNGGU…!” Teriaknya lagi.
Aku berjalan berakhir di pohon beringin di tengah halaman kampus. Dan
kulihat dari belakang dia masih mengikutiku. Dia berlari menujuku, dan
dengan nafas terengah-engah ia menghampiriku.
“Haah… haah… haah… kakak cepat sekali jalannya. Aku sampai kelelahan.” Desahnya.
“Lalu… kenapa kau mengikutiku?” Kataku, jutek.
“Aku kan sudah bilang kemarin. Aku akan menemui kakak lagi. Memangnya
tidak boleh kenalan dan berteman dengan Senior?” Tanyanya dengan nada
lugu.
Aku melirik ke wajahnya. Ternyata ia memasang wajah yang polos, sehingga
membuatku menjadi gemes melihat wajahnya. Andaikan aku mempunyai adik
seperti dia, akan kupeluk setiap hari. Batinku.
“B… boleh saja. Tapi apa tidak apa-apa?” Tanyaku.
“Kenapa apanya, kak?”
“Aku kan dikenal sebagai orang yang aneh di sini. Apa tidak apa-apa kamu
berteman dengan Senior yang aneh sepertiku ini? Nanti popularitasmu
turun, lho.”
“Tidak apa-apa. Memangnya mereka yang mengatur aku dalam memilih teman. Aku tidak popular. Mereka saja yang mendekatiku.”
“Baiklah. Namaku Nur Aisyah, panggil saja Ai. Senang berkenalan
denganmu.” Kataku mengulurkan tangan. Dan ia pun membalas jabatanku.
“Nama saya Muhammad Nur. Panggil saja Akhmad. Wah… nama kita hampir mirip ya, kak. Cuma beda belakang sama di mukanya saja.”
Aku tersenyum kecil. Akhirnya aku bisa merasakan yang namanya berteman.
Sudah sekian lama aku tidak merasakannya. Tapi ada satu hal yang
membuatku bingung, kenapa ia tidak mempunyai belahan bibir. Biasanya
setiap orang memilikinya. Aku memandangnya, memperhatikan bibirnya.
Siapa tahu saja aku salah.
“Ada apa, kak?”
Ternyata memang tidak ada belahannya. Mungkin karena faktor keturunan.
“Kak?”
“Ah… tidak. Tidak ada apa-apa.”
Selama aku berteman dengan Akhmad, aku mendapatkan hari-hari yang
menyenangkan. Tidak ada lagi hari-hari suram yang aku rasakan, mungkin
Akhmad dikirim oleh yang Maha Kuasa untuk memberikan kebahagiaan
kepadaku dan aku sangat mensyukuri itu. Sekian lama kami berdua
berteman, Akhmad pernah diolok-olok oleh teman-temannya pada tahun kedua
kuliahnya. Dan aku pernah menyarankan untuk memperjauh hubungan
pertemanan kami supaya ia tidak diolok-olok lagi, tapi ia tidak
menyetujui saranku. Ia berkata ‘Bukan mereka yang mengatur aku untuk
memilih teman. Kalau aku mau berteman dengan kakak, ya aku berteman
denganmu’ hal indah yang dikatakan oleh Akhmad melalui mulutnya sangat
menyentuh hatiku. Dan pada saat tahun terakhirku, aku disibukkan dengan
pekerjaan dalam membuat Skripsi. Tentu saja aku sangat kesusahan dalam
mencari bahan. Tapi dimana aku kesusahan, Akhmad selalu ada untuk
membantuku. Walaupun saat itu dia masih semester ke-3, dia mengerti
bahan yang bagus untuk Skripsiku. Dan itu sangat mengagumkan untuk
laki-laki yang masih bergelut di semester ke-3. Aku sangat mengagumi
laki-laki yang membantuku ini.
Hari itu adalah hari Ujian Skripsi. Dan aku diwawancarai mengenai
topik skripsi yang aku buat. Di dalam aku melihat Dosen Yuda juga turut
ikut mewawancaraiku. Di dalam ruangan yang berisi 5 orang Dosen
pembimbing dan aku. Mereka menanyakan topik dan tujuanku memilih judul
dalam Skripsiku. Aku menjelaskan kepada mereka dari awal hingga akhir
mengapa aku memilih judul yang aku buat dalam Skripsiku. Hingga aku pun
memberikan alasan dan kesimpulannya, dosen yang memperhatikan dan
mendengarku, berangguk pelan. Setelah aku selesai mengatakan semua
penjelasanku, aku pun melihat ke para Dosen. Reaksi mereka sangat
tenang, kemudian mereka saling berpandang satu sama lain berkomunikasi
lewat kontak mata. Dan dengan tersenyum mereka berkata,
“Penjelasan yang bagus Nona Ai. Tidak salah Yuda menyuruhmu untuk masuk
ke dalam ruang lebih dahulu. Kami sangat puas. Kamu secara resmi
dinyatakan LULUS,”
“Allhamdullillahirabbilallammin…” Aku mengusap dada, dan mengucapkan kata syukur.
Lalu aku pun keluar dengan rasa berterima kasih kepada Allah SWT yang
telah memberikanku ketegaran dan mempermudahkan aku dalam menghadapi
ujian kali ini. Aku melangkahkan kaki ke luar dari ruangan itu, ketika
aku sudah berada di luar kulihat Akhmad sudah menungguku dengan cemas.
“Bagaimana, kak?” Tanyanya dengan nada cemas.
“AKU LULUS, AKHMAD! KYAAA…” Aku bersorak riang dan menghamburkan pelukkanku ke Akhmad.
“Selamat ya, kak. Kakak sudah berusaha.”
“Ini semua juga berkat kamu, Akhmad. Terima kasih ya.”
“Sama-sama. Selebihnya kan kakak yang mengerjakannya. Oh iya, kak. Mau sampai kapan meluk aku?”
Mendengar pertanyaan Akhmad, aku langsung melepaskan pelukkanku. Dan aku merasakan pipiku panas.
“Oh… maaf ya,”
“Tidak apa-apa,”
Suasana menjadi hening.
“Kak…?” Tanyanya lagi.
“Iya? Ada apa?” Jawabku.
Akhmad menatapku dengan pandangan serius. Lalu dengan sigap ia langsung memegang tangaku.
“Kak! Baru kali ini aku melihat kakak sesenang ini. Aku ingin membuat
kakak bahagia selamanya. Aku ingin di sisi kakak dan menghibur kakak,”
Aku tercengang. Serasa tidak percaya dengan yang baru saja Akhmad katakan. Apakah ini yang dinamakan pernyataan cinta.
“A… aku. Tapi Akhmad, umur kita berbeda jauh dan itu sangat tidak mungkin.”
“Tapi…”
“Akhmad aku tidak bermaksud untuk tidak menolak tawaranmu. Coba kamu pikir lagi. Apa kamu mau menerimaku yang seperti ini?”
“Tentu saja. Aku tidak pernah melihat perempuan tegar seperti kakak dan
aku sangat menyukai sifat kakak yang seperti itu. Jadi mau kah kakak
berada di sisiku selamanya?”
Aku mengangguk. Lalu dengan sekejap Akhmad langsung memelukku dan
mengangkatku. Senyum gembira tertera di wajahnya yang polos. Aku
memberikannya senyuman kecil. Sesuatu hal mengganjal pikiranku mengenai
hubunganku dengan Akhmad. Masalahnya, dalam hukum Islam jika seorang
lelaki dan perempuan telah mengetahui sifat satu sama lain, dan lelaki
tersebut menyatakan perasaannya. Itu menyatakan bahwa lelaki itu sedang
mempersunting perempuan tersebut. Sedangkan Akhmad tidak tahu asal usul
keluargaku, dan keadaan Ibuku. Dan aku sangat bingung ketika aku
menerima tawarannya, dia langsung ingin segera menemui orangtuaku.
Dengan terpaksa aku membawanya kepada Ibuku.
Sesampainya di rumah, aku mempersilahkannya duduk di ruang tengah.
Aku naik ke atas dan memasuki ruangan itu lagi. Kubuka pintu itu, di
dalam kutemui Ibuku yang sedang berdiri di depan cermin.
“Bu… ada seseorang yang ingin bertemu dengan ibu. Calon suami Ai, dia ingin meminta restu dengan Ibu,”
Ibu langsung berjalan melewatiku, keluar dari ruangan itu. Baru kali ini
Ibu keluar dari ruangan semedinya setelah sekian lama. Ibuku dan aku
menuruni tangga, Akhmad yang melihat langsung berdiri. Tapi ketika Ibuku
melihat ke Akhmad, bola mata Ibu langsung membesar.
“HAH! Sedang apa kau disini?! Keluar kau! Kau tidak berhak berada disini! KELUAR!!!” Teriaknya.
Aku terkejut dengan kelakuan Ibu yang mendadak histeris.
“Ibu! Ibu kenapa?! Ini Akhmad calon suami Ai, bu.”
“TIDAK! KELUAR!!!”
Akhmad hanya memasang wajah serius ketika bertemu dengan Ibuku. Kami
berdua pun keluar. Mengantar Akhmad ke depan pintu, jeritan histeris Ibu
masih terdengar dari luar.
“Maaf ya, Akhmad.”
“Tidak apa-apa, kak. Kalau begitu aku pulang dulu. Assallammuallaikum.”
“Wallaikumsallam. Akhmad.” Panggilku.
Ia menoleh.
“Jangan panggil aku dengan sebutan ‘kakak’ lagi. Panggil saja aku Ai.”
Ia tersenyum dan pergi meninggalkan rumahku. Tapi pada keesokkan
harinya aku meminta nasihat kepada paman dan bibiku mengenai lamaran
Akhmad kepadaku. Dan aku masih memiliki kendala untuk mendapatkan restu.
Akhirnya paman dan bibiku menyuruhku untuk membawa Akhmad dan
memperkenalkannya kepada mereka. Dan tepat pada malam hari, aku
memperkenalkan Akhmad kepada paman dan bibiku. Dan luar biasa, reaksi
paman dan bibiku terhadap Akhmad sangat memukau. Dalam sekejap paman dan
bibiku langsung menyukai Akhmad. Dan pada malam itu juga Akhmad
mendapatkan restu dari paman dan bibiku, lebih baiknya lagi paman
bersedia untuk menjadi waliku.
“Tolong jaga keponakan kami, nak Akhmad.” Ucap pamanku sembari tersenyum.
Pernikahan kami di selenggarakan pada Tanggal 05 Mei 2010. Aku duduk
bersanding bersama Akhmad. Proses akad nikah berjalan lancar dan tidak
ada kendala sama sekali. Aku dan Akhmad sangat bahagia pada saat itu,
sayangnya orangtua Akhmad tidak dapat datang pada hari itu. Dikarenakan
jarak yang sangat jauh dapat memungkinkan penyakit Ayahnya kambuh lagi.
Dan yang dapat mewakilkannya hanya kakak dari Akhmad. Setelah proses
akad nikah selesai, kami semua pergi ke rumah pamanku untuk acara
pestanya. Tapi keesokkan harinya, Akhmad harus segera turun kuliah untuk
mengajukan Skripsinya. Dan aku mulai merekomendasikan diriku kepada
salah satu Perusahaan Marketing terbesar di Semarang, dan aku sangat
bersyukur aku diterima dengan senang hati. Dan aku langsung diangkat
menjadi Manejer Marketing karena nilai yang kuperoleh pada saat kuliah.
Hari-hari yang kulalui penuh dengan pekerjaan, dan Akhmad pun sibuk
dalam menyelesaikan kuliahnya dan minggu depan ia akan Ujian Skripsi.
Waktu untuk kami saling bertemu sangatlah sedikit, dan kami berdua belum
mempunyai rumah. Dan masih belum terpikir untuk membeli rumah,
mengingat Akhmad masih belum lulus. Dan pada minggu Akhmad Ujian Skripsi
aku minta cuti dengan atasanku untuk mendampinginya. Seperti dia
mendampingiku saat aku Ujian Skripsi pada waktu itu. Dengan gelisah aku
menunggunya di luar ruangan. Beberapa menit kemudian aku melihat pintu
ruangan itu pun terbuka, kulihat sosok Akhmad yang sedang berjalan. Lalu
ia pun menghampiriku, wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi senang.
Melainkan ekspresi datar, pada saat itu kukira ia tidak lulus. Tapi
beberapa detik kemudian ia langsung berteriak memeluk dan mengangkatku.
“AKU LULUS, AI…” Soraknya.
Aku yang mendengarnya langsung meneteskan air mata bahagia. Dan juga
mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan kemudahan
untuk Akhmad.
Malamnya Akhmad dan aku berencana mengundang paman dan bibiku untuk
makan malam di luar dalam rangka kelulusan Akhmad. Paman dan bibi sangat
bangga kepada Akhmad. Dan pada hari berikutnya Akhmad mulai membuka
toko komputernya, dan menunjukkan keahliannya dalam Bidang Teknologi.
Bulan demi bulan kami isi dengan kesibukkan masing-masing dalam
pekerjaan sampai pada suatu hari Akhmad mempertanyakan sesuatu ketika
kami sedang makan siang di luar.
“Ai?” Tanyanya.
“Iya, mas?” Balasku.
“Begini, lusa kan aku mau cuti sebentar dan ingin pulang ke kampung halamanku.”
“Kenapa mendesak sekali, mas?”
“Penyakit Ayah kambuh lagi,” Tukasnya.
“Astagfirrullahallazim. Kenapa?” Kataku, terkejut.
“Mas juga tidak tahu, Ai. Makanya kalau mas pulang kamu mau tidak ikut sama mas?”
Aku mendongkakkan kepalaku.
“Tapi… apa tidak apa-apa, mas. Aku masih masih belum siap bertemu dengan
orangtuamu. Malu. Bisa-bisa pas aku bertemu dengan orangtuamu, mereka
langsung menyuruh kita cerai.”
“Ya Allah… Ai… Ai… pikiran kamu jauh sekali. Masa orangtuaku sekejam
itu, ya tidak lah. Ikut saja sekalian bertemu dengan keluarga besarku di
sana.”
“Aku mau saja, mas. Tapi apa tidak apa-apa?”
“Aduh ai… kamu ini segugup itu ketika ingin ku bawa ke mertuamu.”
“He… he…”
Aku menyeringai.
“Di mana kampung halaman kamu, mas.”
“Di Kalimantan Tengah.”
“Wah… jauh sekali. Pantas orangtuamu tidak bisa datang ke pernikahan kita.”
“Walaupun jauh pemandangan di sana sangat indah sekali, lho. Dan kampungnya di pinggir pantai lagi.”
“Yang benar? Tapi mas, aku juga kebetulan ditugaskan atasanku untuk
menjadi manajer di salah satu Perusahaan Sawit yang ada di Kalimantan
Tengah. Dan minggu depan aku berangkat.”
“Nah… sekalian saja. Tapi di kota mana?”
“Di kota Sampit. Tapi harus pulang pergi lagi menggunakan travel ke kilometer 21.”
“Nah… kalau begitu kita berangkatnya minggu depan saja.”
Aku pun mengangguk tanda setuju.
“Tapi sebelum berangkat, kita berpamitan dengan Ibumu dulu. Sudah lama kamu tidak menjenguk Ibumu.” Kata mas Akhmad.
Aku pun menundukkan kepalaku. Iya sudah lama aku tidak menjenguk Ibu.
Aku tak tahu keadaannya saat ini semenjak aku tinggal di rumah paman dan
bibi.
“Iya. Baiklah, mas.”
Aku dan mas Akhmad sudah menentukan hari kapan kami berangkat. Aku
tidak sabar ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu mertuaku. Mereka seperti
apa ya? Pasti mereka orangnya baik sama seperti mas Akhmad.
Hari demi hari terus berlalu. Waktu untuk berpamitan dengan Ibuku pun
telah tiba, aku berdua mas Akhmad mengendarai mobil menuju rumah Ibu.
Kami memasuki rumah megah, tapi keadaan rumah saat itu sangat
berantakkan seakan tidak ada sama sekali orang yang mengurusnya. Aku
memandang rumah yang dulunya kutinggali, keadaannya sangat jauh berbeda
ketika aku meninggalkan rumah ini. Aku dan mas Akhmad memandang tak
percaya dengan apa yang kami lihat. Rumah yang dulu sangat megah dan
indah, kini terlihat seperti rumah kosong dan bernuansa angker.
“AAARRRGGGHHH!!!”
Aku terkejut mendengar jeritan keras yang berasal dari rumah. IBU! Aku
pun langsung berlari masuk ke dalam rumah dan tak menghiraukan panggilan
mas Akhmad. Aku menaiki tangga dengan cepat, menuju ke ruangan yang
dulunya sangat kubenci. Ruangan berpintu besar berada di hadapanku,
langsung kubuka pintunya. Ketika kubuka, kulihat Ibuku telah terkapar di
atas lantai. Lalu aku serasa tak percaya dengan apa yang telah kulihat
di depan mata kepalaku. Perempuan yang membuatku koma selama 3 minggu
berdiri di samping Ibuku. Ia melihatku dengan mata merahnya, lalu
menghilang meninggalkan asap hitam pekat.
Aku langsung memeluk Ibuku yang tergeletak diam di lantai dengan mata
membelalak lebar dan mulut ternganga serta mengeluarkan lidahnya.
“Ibu! Ibu! Ibu!”
Aku meraih pergelangan tangan Ibuku, dan merasakan denyut nadinya. Tidak ada!
“Ibu…! Ibu…! IBU…! MAS…! MAS AKHMAD…!” Teriakku. Memanggil mas Akhmad.
Mas Akhmad muncul di balik pintu dengan wajah cemas. Aku langsung menangis dengan Ibu dalam pelukkanku.
“Mas… Ibu mas…”
Mas Akhmad mendekat dan merasakan denyut nadi Ibuku sekali lagi.
“Innallillahhi Wainnallillahhiroziun. Ai, Ibu telah berpulang kepada yang maha kuasa.” Tukas mas Akhmad.
Aku langsung menangis dengan keras dan memeluk erat mayat Ibuku. Dan mas Akhmad pun ikut memelukku, menenangkanku.
“Kita harus hubungi keluargamu, Ai.”
Hari pemakaman Ibuku penuh dengan haru. Aku sangat sedih dengan
kepergian Ibuku yang sangat aku sayangi walaupun ia sering tidak terlalu
memperhatikanku. Tapi aku sangat menyayanginya, kenapa Ibu meninggal
dengan cara yang sangat tragis. Mas Akhmad selalu berada di sampingku,
menenangkanku dan menjagaku. Dan aku sangat menghargai perbuatan
suamiku. Ketika malam tahlilan, dan membaca Surah Yaasin mataku tak
henti-hentinya mengeluarkan air mata sampai aku tak sanggup lagi dan
beranjak masuk ke dalam kamar rumah paman dan bibiku. Orang-orang pun
selesai mengirimkan Do’a untuk Ibuku, kudengar para wanita yang berada
di dapur telah menyuguhkan makanan untuk semua orang yang datang dalam
tahlilan malam itu. Pintu kamar yang aku masuki terbuka, sosok mas
Akhmad yang menggunakan baju koko dan memakai kopiah menghampiriku.
“Ai… sudahlah. Ikhlaskan saja,” Kata mas Akhmad dengan suaranya yang
lembut. Tangannya yang besar dan kokoh mengusap air mataku yang masih
berjatuhan.
“Aku sudah merelakannya, mas. Tapi kondisi Ibu ketika meninggal sangat membuatku terpukul.”
Mas Akhmad diam.
“Ai… bagaimana kalau kita membangun rumah?”
“Hah… membangung rumah.”
“Iya. Bagaimana kita berkeluarga dan tinggal di kampung halamanku dan
meninggalkan kehidupan kota. Kita akan membangunnya di dekat pantai,
tapi agak jauh dari rumah Ayah dan Ibuku. Bahan-bahannya sudah
disediakan disana biayanya pun menggunakan uang gajiku.”
Aku terdiam.
“Apakah engkau mau, Ai?” Tanyanya dengan nada sendu.
Aku berfikir sejenak. Menimbang-nimbang penawaran mas Akhmad yang sangat
memungkinkan untukku. Aku mendongkakkan kepalaku, dan menatap mata mas
Akhmad dengan tajam. Dan aku pun berkata.
“Baiklah. Aku mau, mas.”
“Allhamdullillah. Ternyata kamu setuju dengan penawaranku. Aku sudah
minta izin dengan paman dan bibimu, dan mereka menyetujuinya.”
Aku tersenyum kecil. Wajah ceria mas Akhmad terpancar ketika aku berkata
setuju kepadanya. Dan aku merasa aku sangat beruntung mempunyai suami
yang bijaksana seperti mas Akhmad, walaupun ia lebih muda dariku. Dan ia
tidak membandingi perbedaan umur kami.
Kami berdua akan berangkat pada hari senin. Aku dan mas Akhmad pamit
pada hari senin itu. Perjalanan jauh dan melelahkan menunggu kami,
perjalanan melalui udara dan darat. Setelah 16 jam perjalanan kami pun
sampai di kampung halaman mas Akhmad. Memang benar apa kata mas Akhmad,
kampung ini sangat indah tepat berada di dekat pantai. Pohon-pohon
kelapa mengelilingi kampung ini, dan hebatnya lagi kampung ini sangat
bersih dan asri.
“Nah… Ai. Selamat datang di Kampung Kalap. Ini adalah kampung yang sangat aku cintai dan sayangi,”
Aku melangkahkan kakiku di atas kampung yang aku tidak kenali ini, tapi
kampung ini sangat membuatku takjub dengan pemandangan pantai yang
sangat indah serta kampungnya.
Mas Akhmad membimbingku menuju sebuah rumah berpondasikan kayu ulin
yang sangat kuat. Rumah itu agak besar tetapi lebar, dan desainnya ala
Kalimantan Tengah sekali. Sekerumunan orang-orang yang berada di kampung
menyambut kami berdua. Ternyata mas Akhmad sangat dikenal di
kampungnya, dan orang-orang yang ada di kampung ini sangatlah ramah. Dan
kulihat di muka rumah yang kusebutkan tadi berdiri dua orang wanita dan
lelaki paruh baya dan aku juga melihat kakak Akhmad. Jangan-jangan
wanita dan lelaki itu mertuaku, orangtua mas Akhmad. Ketika kami
menghampiri orangtua mas Akhmad, mereka langsung memeluk mas Akhmad. Mas
Akhmad mencium tangan kedua orangtuanya dan kakaknya. Keluarga yang
sangat harmonis, aku selalu mendambakan keluarga seperti ini.
“Mai, jituh sawan kula,” (Bu, ini istri saya). Kata mas Akhmad dalam bahasa yang sama sekali tidak aku ketahui.
Lalu Ibu mas Akhmad tersenyum dan memegang pipiku, dengan refleks aku
langsung mencium tangan Ibu mas Akhmad. Ibu mas Akhmad berkata sesuatu
dan aku sama sekali tidak mengerti. Mas Akhmad menyadari raut wajahku
yang sangat kebingungan, lalu membisikkan sesuatu di telinga Ibunya.
Lalu Ibunya langsung seperti orang terkejut dan lupa.
“Jadi ini namanya nak Aisyah. Kamu cantik sekali, nak. Akhmad, Aisyah
ayo masuk. Masa kita berdiri di sini, nanti kaki cepat lunglai.” Kata
Ibu mas Akhmad dengan Bahasa Indonesia yang sangat lancar, sambil
tertawa dan mempersilahkan masuk.
“Ah, ibu ini,” kata mas Akhmad.
Kami semua pun masuk ke dalam rumah orangtua mas Akhmad. Keadaan di
dalam rumah sangat rapih dan terurus, dan sangat bersih serta tertata.
Kami semua bercerita-cerita tentang kisah masing-masing. Sangat
menyenangkan tinggal bersama keluargaku yang baru ini, terutama Ibu dan
Ayah mas Akhmad yang sangat baik hati.
Malamnya kami makan malam, masakan yang dibuat Ibu mas Akhmad sangat
enak. Aku sampai nambah dua kali. Dan aku langsung minta diajarkan resep
masakan Ibu mas Akhmad yang namanya ‘Gangan asam’. Ternyata ‘Gangan
Asam’ itu dalam Bahasa Indonesianya itu sayur asem, tapi yang di buat
Ibu mas Akhmad sangat enak dan bisa diacungi jempol. Keharmonisan yang
aku dapatkan bersama keluarga baruku sangatlah membuatku terharu. Pernah
mas Akhmad mengatakan kepada Ibunya bahwa aku saat ini sebatang kara
dan Ibuku telah meninggal. Dan Ibu mas Akhmad pun berkata “Kamu telah
mempunyai keluarga baru disini. Dan Ibu sangat senang jika kamu
memanggil Ibu dengan panggilan ‘Ibu’” saat itu aku langsung meneteskan
air mataku, seumur-umur Ibuku tidak pernah berkata seperti itu. baru
kali ini ada seseorang yang berkata dengan ikhlas seperti itu. Lalu pada
suatu hari aku minta izin kepada mas Akhmad untuk berjalan-jalan di
tepi pantai, selagi mas Akhmad sedang membangun rumah untuk kami.
Ketika aku berjalan-jalan di pinggir pantai, dari kejauhan terlihat
seorang nenek berjubah hitam berjalan menghampiriku. Kulitnya sangat
mengeriput, matanya yang memutih sangat membuatku ketakutan. Lalu ia
menunjukku dengan telunjuknya, dan berkata.
“Kau… kau tidak pantas berada disini.” Katanya dengan nada parau layaknya seorang nenek yang sudah memasuki usia senja.
“Memangnya kenapa, nek? Ini adalah kampung halaman suami saya dan kami
akan tinggal di sini. Dan saya sangat menyukai penduduk kampung di
sini.” Balasku.
“TIDAK! Kau harus pergi dari sini sesegera mungkin,”
Aku bingung dengan perkataan nenek yang sedang berada di depanku ini.
Lalu ketika sesuatu luput dari mataku aku menoleh ke belakang. Dan
ketika aku menoleh kembali, nenek yang berada di depanku sudah
menghilang. Aku sangat terkejut. Secepat itukah nenek tersebut pergi.
Lalu malamnya aku mengalami muntah-muntah hebat. Aku terus keluar dan
memuntahkan semua makanan yang ada di dalam perutku, dan itu sangat
menyakitkan. Mas Akhmad cemas melihat keadaanku dan mendampingiku.
Beberapa minggu kemudian, rumah dambaan kami pun jadi. Rumah yang
dibangun dengan kayu sama seperti rumah Ayah dan Ibu mertuaku. Terbuat
dari kayu ulin dan berada di dekat pantai dan agak jauh dari rumah Ibu
dan Ayah mertuaku. Kami berdua pun kembali bekerja. Aku berkerja sebagai
manejer di Perusahaan Sawit dan mas Akhmad membuka cabang toko
komputernya di Kota Sampit. Kami pulang pergi dari rumah menggunakan
travel. Sungguh hari-hari yang melelahkan membanting tulang untuk
memenuhi kebutuhan kami. Lalu malamnya aku muntah-muntah lagi, rasa
sakit pada perut dan saluran nafasku tak tertahankan lagi. Mas Akhmad
semakin cemas dengan keadaanku, dan ia pun menaruh curiga kepadaku.
“Ai, apa kamu tidak apa-apa. Ini minum air putih.” Katanya, sembari menyorongkan gelas berisi air putih.
“Makasih, mas.”
“Ai, dari semalam kamu terus muntah-muntah. Jangan-jangan kamu hamil.”
“Bisa saja, mas. Aku sudah telat 3 bulan. Tapi… tunggu. Aku ambil alat tes kehamilan dulu.”
Aku pun mengambil alat tes kehamilan di dalam lemari dan beranjak
menuju kamar mandi. Ketika aku melihat hasilnya aku sangat terkejut.
Lalu aku keluar mendatangi mas Akhmad.
“Mas…” Panggilku.
Mas Akhmad pun berdiri. Dengan pandangan cemas ia menatapku.
“Mas… aku… aku POSITIF HAMIL.” Sorakku. Dan menghamburkan pelukkan ke mas Akhmad.
“Akhirnya Aisyah. Kita akan segera memiliki anak.”
Kabar bahwa aku hamil pun di beritahukan kepada Ayah dan Ibu. Mereka
sangat senang dan berkunjung ke rumah kami. Sungguh hari yang sangat
menyenangkan. Buah hati yang selalu kami dambakan akan segera datang.
Setiap hari aku mengelus-elus perutku dan menyanyikan Salawat Nabi untuk
janin yang berada di dalam perutku ini. Mas Akhmad juga kegirangan dan
sering menempelkan telinganya di perutku. Bulan demi bulan berlalu, aku
cuti bekerja karena sedang mengandung. Perutku kian menjadi besar,
menandakan bahwa kandunganku semakin tumbuh. Dan bayi yang berada dalam
perutku ini sering kali menendang-nendang. Ketika ia menendang, aku
selalu membacakan Salawat Nabi untuknya dan ia berhenti menendang. Kelak
anak ini akan menjadi anak yang shaleh, berbakti kepada kedua
orangtuanya dan menolong sesama. Mas Akhmad pun menunjukkan ekspresi
aneh ketika bayi yang ada di dalam perutku ini menendang dan aku tertawa
geli melihatnya. Aku sangat bersyukur karena Allah SWT telah
mengirimkan buah hati yang akan selalu mengisi hari-hari kami.
Pada suatu sore, aku kembali berjalan-jalan di pinggir pantai agar
anakku dapat merasakan angin sepoi-sepoi dan suara ombak yang berderu.
Tapi ketika aku ingin beranjak pulang ke rumah, sosok nenek yang aku
temui beberapa bulan lalu tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku langsung
mundur beberapa langkah. Ia terus maju dan aku mundur beberapa langkah
lagi.
“M, mau apa kau?” Tukasku.
Nenek itu cuma tersenyum. Dan mulai mendekatkan tangannya ke perutku. Aku langsung menepisnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Kataku, kemudian menjauh dari nenek tersebut.
“Aku ingin sesuatu yang berada dalam perutmu.”
“Apa?! Tidak! Aku tidak akan memberikan anakku kepadamu. Lagipula apa salahku?”
“Salahmu…”
Lalu dalam sekejap nenek itu berubah menjadi perempuan dan bayangan
hitam bermata merah darah yang membunuh Ibuku. Aku sangat terkejut
melihatnya.
“Kau…”
“Iya. Aku lah yang membunuh Ibumu. Ibumu berjanji untuk memberikanmu
kepadaku sebagai tumbal. Tapi saat ini yang aku mau adalah bayi yang ada
di dalam perutmu itu.”
“TIDAK! Aku tidak akan memberikannya kepadamu!”
Nenek itu terus mendekat mencoba memegang perutku. Aku terus menjauh,
berusaha untuk tidak menyerahkannya kepada nenek jahat yang berada di
depanku.
“AISYAH! Menjauhlah dari nenek itu.”
Sebuah suara terdengar di telingaku, suara yang sangat familiar. Ketika
kutoleh asal suara itu, kulihat mas Akhmad berdiri di pinggir dinding
pasir disertai dengan seluruh penduduk dan keluargaku. Ayah dan Ibu
mertuaku juga ikut. Lalu kulihat nenek itu sangat terdesak. Mas Akhmad
pun mendekatiku merangkulku dan mencoba membawaku menjauh dari nenek
itu. lalu seluruh penduduk yang ada di kampung kalap menyerang nenek
itu.
“Kau tidak akan bahagia hidup bersama laki-laki itu Aisyah. Dia bukanlah
laki-laki seperti yang kau kira. Kau akan menyesalinya.” lalu nenek itu
akhirnya mati dan berubah menjadi abu yang ditiup angin laut.
Aku yang masih syok, dibawa mas Akhmad, Ayah dan Ibuku menuju rumah
kami. Ketika kami berada di dalam, mas Akhmad meminta untuk membiarkanku
berdua saja bersamanya. Mas Akhmad duduk di sampingku. Aku masih
memikirkan kata-kata terakhir yang dikatakan nenek itu. lalu aku mulai
bertanya kepada mas Akhmad.
“Mas, apa mas menyembunyikan sesuatu dariku?” Tanyaku.
Mas Akhmad terkejut dengan pertanyaanku. Lalu ia pun memegang tanganku.
“Ai, sebelumnya aku minta maaf. Kata-kata nenek itu benar. Aku bukanlah laki-laki seperti yang kau kira,”
“Sebenarnya aku bukanlah manusia sepertimu,”
Sudah kuduga. Batinku.
“Aku memang bisa dibilang manusia biasa karena menjalani kegiatan yang
sama seperti manusia normal lainnya. Tapi aku beda, aku tidak memiliki
raga. Dan aku sudah mengetahui bakatmu dalam melihat hal-hal aneh,
makanya aku berani membawamu ke kampung ini. Apakah kau marah, Ai?”
Aku diam. Menatap wajah suamiku yang sangat polos ini. Tertera jelas rasa kecewa di wajahnya. Aku pun memegang tangannya.
“Mas, aku sudah tahu dari dulu.”
Mas Akhmad terkejut dengan perkataanku.
“Hah. Kamu sudah tahu. Kalau kamu sudah tahu kenapa kamu tidak mengatakannya dari dulu?”
“Itu cuma tebakkan Ai saja, mas. Tapi ternyata tebakkan itu benar. Aku
sudah merasakan hal yang berbeda padamu dan keluargamu yang sangat
baik.”
Kulihat wajah mas Akhmad berubah jadi murung.
“Jadi… kamu mau kita cerai?”
“Ya Allah mas… mas… memang aku ada berkata seperti itu?”
“Ya tidak ada, sih. Tapi aku tahu kamu pasti mau minta cerai.”
“Ya tidaklah, mas. Aku sudah menerimamu apa adanya. Kamu tetap mas
Akhmad milikku, aku menerimamu apa adanya. Aku menerima semua
kekuranganmu. Bagiku kamu adalah orang satu-satunya yang memberikan
kebahagiaan kepadaku. Dan kamu adalah suami yang hebat dan aku yakin
kamu akan menjadi ayah yang hebat ketika buah hati kita nanti lahir.”
Kataku, tulus. Mengeluarkan segala isi hatiku.
“Oh… Ai… aku sangat menyayangimu. Kamu adalah istri terbaik yang ada di dunia.”
Mas Akhmad memelukku dengan erat. Aku meneteskan air mataku di pelukkan
mas Akhmad. Lalu tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa dari
perut dan selangkanganku. Sesuatu ingin keluar.
“Aduh! Mas… perutku sakit!!” Teriakku. Mas Akhmad terkejut mendengar jeritanku.
“Jangan-jangan kamu mau melahirkan. Tunggu sebentar Ai, mas akan panggilkan Ibu dan dukun beranak.”
“Aaakkkhhh!!!”
Mas Akhmad pergi keluar sebentar untuk memanggilkan Ibu dan dukun
beranak. Beberapa saat kemudian mas Akhmad datang membawa Ibu dan dukun
beranak. Ibu langsung membaringkanku di atas kasur, dan dukun beranak
langsung memberi instruksi kepadaku. Rasa sakit yang luar biasa
menyiksaku, berusaha untuk membawa anakku melihat dunia baru bumi. Aku
terus menjerit dan menyebut nama Allah SWT, berharap di berikan
kemudahan dan tidak terjadi halangan apa pun. Aku terus mendorong dan
mengikuti arahan dari dukun beranak tersebut. Rasa sakit sangat
menyiksaku, kulihat mas Akhmad memegangi tanganku, besimpuh di
sampingku.
OOEEKK!!!
Suara tangisan bayi terdengar di telingaku. Seluruh orang yang berada di
sekitarku mengucapkan syukur kepada yang Maha Kuasa begitu pula aku.
Seorang anak manusia telah terlahir di muka bumi untuk mengisi
hari-hariku bersama mas Akhmad. Seorang anak yang akan memberikan
kebahagiaan kepada kami.
“Kamu sudah berusaha Aisyah,” Kata mas Akhmad, kemudian mengecup keningku.
Kulihat anakku sedang digendong ayahnya, kemudian ia memberikannya
kepadaku. Anakku yang kutunggu-tunggu telah datang. Lalu mas Akhmad
menyerukan Takbiratul Ilham sebagaimana ajaran Islam ketika bayi di
lahirkan di bumi. Ketika mas Akhamd menyerukan Takbir, bayi yang berada
dipelukkan aku tersenyum kecil dengan mata terpejamnya. Dan hal itu
sangat memukau. Seluruh keluargaku menyaksikan pemandangan itu. Anak
dari orangtua yang berbeda dunia. Tapi itulah kelebihannya, anak shaleh
telah terlahir di dunia dan membawa kebahagiaan untuk semua orang.
“Mas, saatnya memberikan nama.” Ucapku.
“Menurutmu nama anak kita apa?”
“Aku tahu. Namanya adalah Muhammad Akbari.”
“Nama yang bagus Aisyah.” Sahut Ibu mertuaku.
“Iya. Nama yang bagus Ai. Akbari.”
“Ibu harap kamu akan menjadi anak yang Shaleh dan memberikan kebahagiaan kepada kami kelak. Akbar kecil.” Aku tersenyum.
Kehidupanku bersama seorang lelaki berbeda dunia tidak akan pernah
kusesali. Karena lelaki itulah yang telah memeberikan kebahagiaan yang
sama sekali tidak dapat kubayar dengan uang. Karena dialah orang yang
dikirim Allah SWT untuk membahagiakanku. MUHAMMAD NUR
Cerpen Karangan: Meisy Pratiwi
Source:
-----