Saling mengenal adalah anugerah. Darinya hadir rasa bahagia, dihargai
dan bisa saling berbagi. Saling mengenal atau dalam islam sering
disebut sebagai ta’aruf. Ta’aruf bisa terjadi kapan saja dan tanpa
diduga-duga, bisa terjadi lewat pertemuan yang tanpa disengaja ataupun
diengaja. Dari sekedar tersenyum, bertegur sapa, say hello, dan bahkan
ada yang saling mencinta. Ratusan bahkan jutaan orang yang ada di
sekeliling dan sekitar kita dapat mengenal satu sama lain jika mereka
mau.
Allah SWT. berfirman:
Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. (Q.S. Al-Hujuraat : 13)
Hmm mungkin yang ada di benak kalian ta’aruf untuk ke jenjang
pernikahannya. Memang saya akan berbagi tentang itu semua tapi
sebenarnya ta’aruf bukan hanyalah proses ke jenjang yang lebih serius
seperti pernikahan tetapi kita saling bersaudara, berteman dan bentuk
interaksi dengan sesama manusia saja bisa kita artikan sebagai
“ta’aruf”.
Mungkin saat ini yang sedang menanti hadirnya seseorang, atau lebih
tepatnya seorang pendamping hidup, kita berbicara ruang lingkup ta’aruf
ya bukan pacaran kalo pacaran bukan menunggu seorangnya pendamping tapi
lebih tepatnya menunggu siapa mangsa saya selanjutnya untuk saya sakiti
hatinya. (bercanda) hehehehe
Tentu orang yang menanti hadirnya seseorang melalui ta’aruf tentu
akan berbeda memaknainya dibandingkan dengan orang yang menanti lewat
proses berpacaran. Mungkin sebelum berbicara terlalu jauh, ada
pertanyaan dibenak kalian
Ta’aruf atrtinya mengenal baik mengenalkan diri
ataupun berkenalan dengan orang lain, ya pokoknya interaksi lah antara
dua orang atau lebih dengan maksud atau tujuan tertentu. Ta’aruf bisa
berupa pertemanan, persahabatan, persaudaraan ataupun pernikahan. Dan
masih banyak lagi. Tapi disini saya akan khususkan saja membahas tentang
ta’aruf cinta yang bisa menjembatani terjadinya suatu pernikahan..
Oke mungkin sudah ada yang sedikit mengerti, selanjutnya apa sih yang
kalian pikirkan tentang ta’aruf cinta? Apakah itu sumber datangnya
kebahagian? Hmm mungkin bisa dikatakan iya dan juga bisa dikatakan
tidak. Sebenarnya ta’aruf bukan satu-satunya cara untuk menggapai
kebahagian dan pernikahan yang bahagia, melainkan hanya salah satu cara
dari sekian banyak cara yang Allah dan Nabi ajarkan. Tetapi kadang
banyak pihak yang belum mengerti maksud dan tujuannya sehingga muncul
berbagai pendapat tentang ta’aruf ini.
Mungkin ada sebagian dari kita yang berpikir bahwa ta’aruf sama aja
kita beli kucing dalam karung. Oke kita bisa berpikir seperti itu tapi
kalian juga harus mendengarkan pengalaman dari orang yang sudah pernah
dan merasakan ta’aruf (kalo saya belum, belum cukup umur jadi jangan
percaya sama saya :p ) hehehe Nah baru setelah kalian mendengarkan
mereka dan memahaminya kalian boleh berpendapat dan saya rasa mungkin
penilaian anda tentang ta’aruf akan sedikit berbeda.
Ta’aruf cinta adalah proses perkenalan yang bertujuan untuk mewujudkan
dan menyempurnakan agama yaitu pernikahan. Tidak hanya ingin kenal. Dan
bukan pula coba-coba siapa tau memang berjodoh. Lebih dari semua itu.
Ta’aruf menjadi sangat sangat mulia karena niat pelakunya yang suci
(Bang Napi). “Innamal a’maalu binniyaat”, segala sesuatu
tergantung niatnya. Seseorang akan memperoleh apa yang diniatkannya jika
memang belum mendapatkannya mungkin Allah sedang menguji kita dan Allah
mengetahui yang terbaik untuk kita. Dan satu lagi “Man Shabara Zhafira” Siapa yang bersabar akan beruntung. Percaya aja deh sama Allah karena Allah tahu yang terbaik untuk kita.
*Sekarang kita bahas Khitbah ( Peminangan )
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman
para Salafush Shalih.
Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ
الْخَاطِبُ.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli
barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang
seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang
meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”
Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika
ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah!”
Shalat Istikharah:
Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya.
Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya.
Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu
‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari
kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana
mengajari surat Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk
mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua
raka’at,
Membaca do’a:
Membaca do’a:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ
بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ
وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ.
اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ (وَيُسَمِّى
حَاجَتَهُ) خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ
(أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ
ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ
شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ:
فِيْ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ
وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu
dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi
persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari
anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak
kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah
yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui
bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut
persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya
terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah
jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau
mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku,
penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah
persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan
(tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada,
kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.
Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk
memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk
membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan
perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding
dengan separuh agama.
Sesungguhnya jika kita menyadari dan yakin dengan sepenuhnya, menikah
itu membawa keberkahan dan kebaikan bagi suami dan istri. Menikah atas dasar
lillahita’ala demi menjaga hati dan diri agar tidak terjerumus dalam kenistaan,
berarti orang tersebut telah menjalankan apa yang Rasulullah perintahkan sesuai
dengan hadits diatas.
Pastikan diri kita selalu sadar bahwa semua rizki
itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)
Jika engkau
menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu.
Allah Ta'ala berfirman,
نَحْنُ
نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُم
"Kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka.” ( QS. Al An'am: 151 )
Walimatul'Urs
Melangsungkan
walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi
pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah
walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari
no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi
istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ
بِشَاةٍ
“Tidaklah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi
istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan
Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.”
(HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)”
Walimah
bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa
pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun
disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan
beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan
walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam
Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan
sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara
makna.”)
Hendaklah
yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa
memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan
hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah
tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ
الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek
makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut
hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR.
Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada
hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa
keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam
rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ
وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah
antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam
pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun
makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan
penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus
Sunnah 9/47,48)
Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff
dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul
duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak
mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam
acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan
alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan
bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan
dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم
كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ
وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah,
beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)