22 Apr 2014

Hidupku Bahagia Bersama Lelaki Berbeda Dunia

Hidup…
Dalam kehidupan ini tidak ada yang pernah sempurna, selalu diselingi dengan masalah-masalah yang membuat semua orang hampir gila. Manusia memiliki sifat yang berbeda-beda, dan dari situlah kita dapat mengetahui sifat manusia yang baik dan yang buruk. Kehidupan yang aku miliki saat ini mungkin sudah pernah dialami oleh orang lain selain aku. Kehidupan bernuansa gelap dan kelam. Kehidupan yang mungkin setiap orang tidak ingin alami. Karena kehidupan yang aku jalani penuh dengan kesunyian dan ketidakadilan yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Kehidupan kelam yang sudah mereka berikan kepadaku sejak aku berumur 13 tahun, dan saat itu aku masih duduk di bangku SMP.

Aku menjalani hidup diiringi dengan cercaan dan hinaan dari orang-orang yang ada di sekolahku. Tapi dengan cercaan dan hinaan itulah aku dapat menjalani hidup dengan kuat dan tegar, mengingat Ayah dan Ibuku bercerai karena kesalahan yang mereka perbuat sendiri. Ya! Orangtuaku bercerai karena perbuatan mereka sendiri. Aku terlahir sebagai seorang anak dari pemilik perusahaan yang jaya dan besar. Tetapi bukan berarti keadaan tersebut membuatku bahagia. Aku tumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtuaku. Ayahku selingkuh dengan perempuan lain sedangkan Ibuku menganut ilmu gelap yang aku tidak tahu untuk apa. Tapi hal itu tidak membuatku mundur untuk melanjutkan pendidikan, selama ada orang yang masih menanggungku. Dan ternyata dengan bersungguh-sungguh sekolah, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku terkenal sebagai murid yang berprestasi, walaupun cercaan dan hinaan masih terus terdengar di telingaku. Dan pada saat aku mencicipi bangku kuliah, di situlah aku menemukan kebahagiaan yang diberikan oleh seseorang baik hati dan dermawan. Seseorang yang mungkin membuat orang-orang terkejut jika mengetahui asal-usulnya.

Semarang, 10 Mei 2009
Pagi itu, seperti pagi-pagi biasa yang telah aku jalani. Bersiap-siap untuk pergi kuliah. Mandi dan berpakaian, memasukkan buku-buku penting untuk bahan kuliahku. Aku telah bersiap-siap dan menuruni tangga rumahku. Menuju dapur dan mencemot sepotong roti berisi selai strawberry yang telah kusiapkan. Lalu aku mulai naik kembali ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang sering digunakan Ibuku untuk bersemedi. Ya! Hak asuh anak jatuh ke tangan Ibuku dengan tipu daya yang ia perbuat, sehingga perasaan Hakim terlena oleh tipu daya tersebut.

Kubuka pintu ruangan besar itu, di dalam aku melihat Ibuku duduk bersila dengan mata terpejam. Seluruh ruangan sangat gelap. Sesajen ada di mana-mana, bau kemenyan mengharumi seluruh ruangan dengan baunya yang sangat menyengat. Aku sudah terbiasa dengan bau ini sejak kecil. Aku berjalan mendekati Ibu, terlihat wajah tua Ibuku yang sudah mulai mengeriput.
“Bu, Ai pergi dulu. Assallamualaikum.”

Karena tidak ada respon, aku beranjak dari ruangan itu.

“Aisyah! Belajarlah untuk mengetok terlebih dahulu!” Bentak Ibuku.

Aku tidak menoleh ke arah Ibuku, aku hanya berdiri membelakanginya di ambang pintu. Aku sudah terlalu sering dimarahi oleh Ibuku. Bahkan jika Ibu kesal, dia tidak segan-segan mengguna-gunaku dengan ilmu hitam yang ia miliki.
“Baik, Bu. Assallammu…” Belum habis aku bicara, Ibu sudah memotong.
“Jangan sekali-kali kamu ucapkan salam seperti itu! Kamu mau membuat Ibu lekas mati?!” Bentak Ibuku, lagi.
Rasa kesal dan marah muncul dalam hatiku. Kelakuan Ibu yang sudah jauh dari nalar, membuat diriku hampir dibisiki oleh setan. Tapi aku langsung menutup pintu ruangan sesat yang sering di gunakan Ibuku itu. Aku berjalan cepat menuju garasi, memasuki mobil Suzuki Fortune. Beranjak pergi meninggalkan rumahku.

Universitas Hassanudin…
Aku memarkirkan mobilku di parkiran khusus untuk para mahasiswa. Orang-orang sudah banyak berlalu lalang di sekitar kampus. Ketika aku keluar dari mobil, orang-orang di sekitarku menatap ngeri terhadapku. Ya! Kehidupan yang diiringin dengan cercaan dan hinaan masih ada sampai aku mencicipi bangku kuliah. Seperti yang aku katakan, cercaan dan hinaan itu membuatku menjalani kehidupan dengan tegar dan kuat. Aku berjalan melewati orang-orang disertai dengan tatapan ngeri dari mereka. Mungkin karena raut wajahku ini dan penampilanku. Memang kulitku yang putih pucat dan rambutku yang panjang serta poni yang sudah mulai panjang tapi tetap kusisir ke arah depan sehingga memunculkan kesan seperti kuntilanak hidup yang sedang berjalan di hadapan mereka. Mungkin karena itulah mereka memberiku tatapan ngeri.

“Eh… eh. Lihat, itu Nur Aisyah. Hii… ngeri, ya? Kenapa sih, dia harus kuliah di sini? Seharusnya dia berkumpul dengan sebangsa setan.”
“Hush! Jangan bicara seenaknya, tidak baik. Kudengar dia itu anak seorang perusahaan besar. Tapi perusahaan itu sudah bangkrut dan keluarganya pun berantakan.”
“Oh… ternyata begitu, tapi seharusnya dia tidak perlu berkelakuan seperti itu. Tapi… mungkin karena kejadian itu dia berubah.”
“Mungkin.”
Aku mendengarnya. Tapi tanpa kusadari, masih ada orang yang mengerti denganku. Walaupun aku tidak pernah mengetahuinya, tapi aku sangat bersyukur.

Seperti biasa, kuliah di jurusan Ekonomi Marketing selalu banyak defenisi-defenisi dan hitungan. Aku yang sedang duduk manis memperhatikan Dosen Yuda yang tengah menjelaskan ‘Konsep Fisik Fundamental’. Kulihat di sekelilingku, wajah bosan terpampang dari sebagian orang-orang yang ada di dalam kelas ini. Dan aku heran.
“Hhh…” Kuhembuskan nafas berat.
Kenapa semua perempuan yang ada di kelas ini memberikan tatapan menawan kepada Dosen Yuda. Memang, Dosen Yuda adalah Dosen termuda yang ada di Universitas ini. Dan ia memiliki wajah yang dapat membuat setiap perempuan ingin menjadi pacarnya.

“Ya, Aisyah. Apakah kamu dapat menjelaskan tentang konsep yang satu ini?” Tanya Dosen Yuda.
Aku mulai berdiri, “Iya. Saya dapat menjelaskannya.”

Aku berjalan ke muka kelas, raut wajah semua perempuan yang tadinya sedang menikmati pesona Dosen Yuda berubah menjadi gersang.
“Haah… kenapa si kuntilanak ini yang menjelaskan?” Rengek salah satu perempuan.
“Iya. Pergi sana! Hush… hush…” Hina perempuan yang lain.
“Kalau kamu keberatan dengan keberadaan Aisyah, kamu dapat menggantikannya di depan sini. Bagaimana?” tanya Dosen Yuda sambil tersenyum.
“Errm… tidak usah, deh. Kamu saja yang menjelaskan, Aisyah.” Kata perempuan itu.
Aku hanya diam dan cuma mendengarkan hinaan yang mereka berikan. Tidak ada rasa kesal. Tapi aku malah tertawa geli dalam hati, melihat ekspresi perempuan tadi ketika dipersilahkan Dosen Yuda untuk menjelaskan.
“Ya, silahkan Aisyah.” Kata Dosen Yuda.
“Baiklah dalam konsep ini…”
Gelap…

Brrmm…
Suara mesin mobilku berderum keras memasuki halaman rumahku yang cukup besar. Ya! Rumah besar yang dulu kami huni kembali lagi ke tangan Ibuku setelah sekian lama disita. Aku tidak tahu, dengan cara apa Ibuku dapat merebut rumah ini kembali. Tapi aku tidak ingin menjadikan hal ini sebagai beban, lebih baik kusingkirkan terlebih dahulu. Aku berjalan menuju pintu besar rumahku, kubuka pintu bergaya mewah itu.
“Assallamualaikum…”
Tidak ada sahutan. Suara Ibuku tidak terdengar. Mungkin masih bersemedi. Pikirku.

Ketika masuk ke dalam rumah, aku terus merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Suasana berbeda dari rumahku, susasana aneh yang berbeda ketika aku meninggalkan rumah untuk pergi ke kampus. Keadaan rumah sunyi, terlalu sunyi. Rasa panik dan khawatir mulai muncul di hatiku.
“Ibu…” Panggilku pada Ibu.
Tidak ada sahutan.
“Ibu…!” Panggilku lagi. Kali ini sedikit berteriak.
Masih tidak ada sahutan.
Refleks. Aku langsung berlari ke lantai atas, menuju pintu besar yang tak jauh dariku saat itu. Kuraih ganggang pintu. Dan cepat kubuka pintu besar itu. Terbuka!
“A… a…”
Mahluk apa itu?! Batinku.
Aku terkejut, tubuhku tak dapat kugerakkan. Berkali-kali aku bertanya dalam hati ‘Mahluk apa itu?!’. kulihat mahluk yang sedang mencekik leher Ibuku. Mata Ibu membelalak lebar. Mahluk bertubuh hitam dan besar itu sedang mencoba untuk membunuh Ibuku. Tubuhku beku, tidak dapat digerakkan. Makin tak dapat ku gerakkan lagi, ketika mahluk itu menoleh ke arahku. Aku melihat matanya! Mata berwarna merah darah yang melihat ke arahku seakan-akan ia akan membunuhku juga setelah ia membunuh Ibuku. Tapi, aku menepiskan rasa takutku kepada mahluk yang ada di depanku sekarang. Aku bertekad, yang aku takuti cuma Allah SWT. Bukan mahluk gaib yang sekarang ada di hadapanku ini. Aku berlari menerobos dan mendorong mahluk itu, tiba-tiba mahluk itu menghilang dengan sendirinya. Ketika mahluk itu menghilang, aku langsung marangkul Ibuku yang masih setengah pingsan.
“Ibu… Ibu… Ibu…!” Teriakku.
“Bu… sadar…” Desahku. Dengan terkejut, Ibu terbangun di pelukkanku.
Tapi, tanpa aba-aba Ibuku langsung melepaskan pelukanku dengan kasar. Dia berdiri, matanya masih terbelalak dan ia melangkah kesana kemari seperti orang kebingungan. Aku hanya duduk bersimpuh dan cuma melihat gelagat Ibuku. Pandangan Ibuku beralih kepadaku, kemarahan mulai terlihat di wajahnya.
“Kamu! Kenapa kamu di sini?!” Bentak Ibuku.
Aku diam.
“Kau tak seharusnya berada di sini!” Aku diam, sekali lagi.
“Keluar! Keluar! KELUAR!!!”

Akhirnya, setelah mendengar teriakan ibuku, aku berdiri dan beranjak meninggalkan tempat Ibuku bersemedi. Berjalan ke arah yang berlawanan dari ruangan besar itu di lantai atas. Menuju kamarku yang terletak tak jauh dari ruangan itu. Aku membuka pintu kamarku, masuk ke dalamnya. Sesampainya di dalam aku sembarang melempar tas ranselku, kemudian menghempaskan badanku yang lelah di atas tempat tidur. Mengingat kejadian yang baru saja terjadi pada Ibu dan juga aku. Hal ini sudah terjadi ke-24 kalinya. Dulu Ibu hampir terbunuh oleh mahluk gaib yang kepalanya buntung. Dan setelah aku menyelamatkannya, seperti tadi, dia membentak dan memarahiku untuk segera keluar dari ruangannya. Aku memejamkan mata, menjernihkan pkiranku dan mengistirahatkan tubuhku. Dalam beberapa saat aku masuk ke dalam alam bawah sadarku.

Pukul 03.45 WIB. Dini hari.
Harum embun pada dini hari, membuat mataku kembali terbuka. Suara Azan berkumandang dari Mesjid kecil yang berada tak jauh dari rumahku. Aku bangkit dari tempat tidurku, menuju kamar mandi. Mencuci wajahku dan menggosok gigi. Aku kembali berjalan keluar dari kamar mandi. Seluruh rumah gelap. Penerangan lampu rumahku tak terlalu terang saat itu. Hanya ada sebagian tempat yang diterangi oleh lampu. Aku menuju tempat ber-wudhu, membuka selang dan mancuran air suci pun keluar. Aku mengusapkan air suci itu ke lengan dan bagian alat gerak yang lainnya. Membersihkan diri dari kotoran yang tak terlihat. Lalu aku kembali ke kamarku dan mulai menghadap sang Maha Kuasa.

Aku berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Dikarenakan masih ada urusan penting yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Seperti biasa, aku memarkirkan mobilku di parkiran dan berjalan menyusuri koridor Universitas Hassanudin yang megah.

WHUUS…
Sekelebat angin kencang menerpa tubuhku. Aku hampir terjatuh oleh angin yang kencang itu. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa di kampus maupun di sekelilingku. Tapi ketika aku menoleh kembali.
“HAAH!!” Aku terkejut.
Sesosok perempuan berambut panjang tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia berdiri dengan wajah tertunduk. Tapi aku tidak merasa takut sama sekali. Aku malah mengajukan pertanyaan kepada perempuan yang ada di depan mataku ini.
“Permisi, kamu kenapa? Ada perlu apa denganku?” Tanyaku.
“To… to… tolong… a… ku…”
“Hah? Apa? Maaf saya tidak mendengar. Bisa kamu ulangi lagi?”
GREEP…
“TOLONG AKU!”
Tiba-tiba perempuan itu memegang kedua pundakku. Kemudian mendekatkan wajahnya sambil berkata.
“Tolong aku… tolong aku… tolong aku… TOLONG AKU…”
Mataku terbelalak. Melihat mata perempuan itu. Warna merah darah. Warna yang sama dengan mata mahluk hitam yang menyerang Ibuku kemarin. Perempuan itu terus mengatakan hal yang sama. Dia terus melihatku dengan mata merah itu. Mataku masih terbelalak, tubuhku beku tidak dapat digerakkan seperti waktu itu. Tiba-tiba banyak suara-suara minta tolong terdengar dari berbagai arah. Lalu…
BUUKK!!
Sesuatu menghantam kepalaku dengan keras. Mataku berkunang-kunang. Pandanganku mulai tidak jelas. Rasa sakit sudah tak tertahankan lagi.
GEDEBUK!!
Aku jatuh. Terbaring di lantai koridor kampus, mataku masih berkunang-kunang. Aku melihat perempuan itu masih menatapku. Tersenyum. Perempuan itu tersenyum lebar melihatku terbaring lemah. Pandanganku semakin pudar. Lalu yang ada hanyalah… gelap.

1 Tahun Kemudian…
Suara ramai orang-orang berdengung di telingaku. Aku yang sedang duduk di bawah pohon beringin besar yang ada di halaman kampus, membuat pandangan semua orang mengarah kepadaku. Mereka terus memberikan tatapan ngeri karena aku berani duduk di bawah pohon beringin ini. Kata orang-orang yang ada di kampus, pohon beringin yang berposisi tepat di tengah halaman kampus terkenal angker. Tapi aku tidak merasa merinding sama sekali. Malah berbicara dengan orang-orang yang ada di sekitar pohon sungguh mengasyikkan. Walaupun bentuk mereka agak sedikit menakutkan.

Sejak kejadian satu tahun lalu, aku mendapatkan bakat dapat melihat orang-orang yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Kejadian tragis yang membuatku koma selama 3 minggu. Kejadian yang terjadi di koridor kampus ini. Perempuan yang telah melakukan sesuatu kepadaku. Bahkan ketika aku koma, Ibu sama sekali tidak pernah menjenguk maupun menjagaku. Cuma paman dan bibiku saja yang senantiasa menjaga dan merawatku.
“BISA DIAM GAK, DEK?!” Suara seseorang membentak.
Aku menoleh ke arah suara itu, yang berada tak jauh dari hadapanku. Oh iya, aku baru ingat kalau Ospek penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan hari ini. Kulihat para Senior membentak-bentak para angkatan baru. Mereka disuruh baris-berbaris, scotjump, push up, sit up, dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan fisik dan mental. Sampai-sampai ada salah satu Junior yang pingsan karena tidak kuat, ada juga yang menangis dan sebagainya. Sepertinya Ospek yang diadakan tahun ini sangat berat, dan aku yakin para Senior sangat senang menyiksa Juniornya. Tapi tanpa kusadari ada salah satu angkatan baru yang sangat aku salut kepadanya. Laki-laki muda berperawakan sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi… sebenarnya… ehm, tampan sedikit saja. Aku sangat salut kepada bocah itu, ia terus berusaha dan tekun sekali mengikuti perintah yang dikatakan oleh Seniornya. Walaupun kentara jelas di wajahnya bahwa ia sangat lelah, tetapi ia sangat pintar menyembunyikannya. Aku harus memperhatikannya dengan teliti terlebih dahulu baru aku tahu ternyata dia sangat lelah. Anak yang pantang menyerah. Ternyata masih ada orang yang seperti itu. batinku. Karena terus memperhatikan gerak-geriknya dalam mengikuti kegiatan Ospek, ternyata aku ketahuan. Tapi memangnya tidak boleh melihat kegiatan Ospek Juniorku. Ia menatapku ketika sedang istirahat. Aku langsung membuang muka, dan kembali membaca buku untuk bahan penjelasanku selanjutnya yang disuruh oleh Dosen Yuda.

Tak beberapa saat aku membaca buku, terdengar suara teriakan centil seorang perempuan. Aku menoleh, dan tak beberapa centimeter dari hadapanku segerombolan Senior yang perempuan sedang mengerumuni sesuatu. Aku yang masih mempunyai rasa penasaran ini, melirik apa yang sedang mereka kerumuni. Aku mencari celah di antara perempuan itu. Ketika aku menemukannya, kulihat laki-laki yang aku salut kepada kerja kerasnya. Ketika melihatnya aku langsung kembali membaca buku lagi. Ternyata bocah itu cepat terkenal. Batinku.

“Hai…”
Sebuah suara membuyarkan konsetrasiku ketika membaca buku. Aku menoleh, sesosok lelaki berdiri di hadapanku dengan tersenyum. Hhh… ternyata dia. Pikirku. Aku hanya menunjukkan ekspresi dingin dan memcoba kembali membaca bukuku lagi.
“Anu… permisi. Kamu…” Tanyanya.
“Bisakah kau bicara lebih sopan sedikit. Aku ini Seniormu,”
“Aduh maaf, kak. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya cuma mau bertanya.”
Aku menatap bingung pada Junior yang tak kutahu namanya ini. Tanpa pikir panjang aku langsung memperbolehkan dia bertanya.
“Boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Ehm… kenapa kakak duduk sendirian di sini? Di bawah pohon beringin lagi. Apa tidak apa-apa? Orang-orang ngeliatin kakak dari tadi, terutama teman-temanku.” Katanya panjang lebar.
“Itu namanya bukan bertanya. Terus kenapa? Memangnya salah kalau aku duduk di sini? Aku tidak mengusik pikiran mereka, kan?” Kataku, dingin.
“Bukan begitu…”
“AKHMAD…” Panggil seseorang.
Laki-laki yang ada di hadapanku menoleh ke asal suara itu.
“Maaf ya, kak. Teman saya memanggil. Lain kali kita ngobrol-ngobrol, ya.” Katanya, sambil tersenyum lebar.
Aku menghembuskan nafas berat. Aku merasa senyum kecil terlukis di bibirku. Cuma dia satu-satunya orang yang berani berbicara denganku. Selain pantang menyerah, dia juga sangat baik hati dan pandai bergaul.

Malam itu menjadi malam yang sangat suram ketika aku berada di rumah. Akhir-akhir ini aku sering mendengar suara Ibuku sedang berbicara dengan seseorang. Padahal selama beberapa tahun ini tidak ada satu orang pun yang berkunjung ke rumah kami. Tetangga kami pun tak pernah berkunjung. Tapi aku yakin, orang yang berbicara dengan Ibuku bukanlah manusia. Aku merebahkan kepalaku di atas bantal, dan mulai memejamkan mataku.

Keesokan harinya aku kembali menjalani hari-hariku di kampus. Aku dipanggil Dosen dan di suruh untuk segera menyiapkan bahan untuk Proposal, mengingat bahwa tahun ini adalah tahun terakhirku dalam kuliah. Ketika aku keluar dari ruang Dosen, dari kejauhan kulihat laki-laki yang kemarin yang mengajakku berbicara berjalan ke arahku dengan melambaikan tangannya. Dan aku langsung membelokkan arah tujuanku kembali ke arah sebaliknya.
“Eh… eh… kak, tunggu…!” Teriaknya.
Aku tak memperdulikan panggilannya dan terus berjalan cepat, berusaha menjauh darinya.
“KAK…! TUNGGU…!” Teriaknya lagi.
Aku berjalan berakhir di pohon beringin di tengah halaman kampus. Dan kulihat dari belakang dia masih mengikutiku. Dia berlari menujuku, dan dengan nafas terengah-engah ia menghampiriku.
“Haah… haah… haah… kakak cepat sekali jalannya. Aku sampai kelelahan.” Desahnya.
“Lalu… kenapa kau mengikutiku?” Kataku, jutek.
“Aku kan sudah bilang kemarin. Aku akan menemui kakak lagi. Memangnya tidak boleh kenalan dan berteman dengan Senior?” Tanyanya dengan nada lugu.

Aku melirik ke wajahnya. Ternyata ia memasang wajah yang polos, sehingga membuatku menjadi gemes melihat wajahnya. Andaikan aku mempunyai adik seperti dia, akan kupeluk setiap hari. Batinku.
“B… boleh saja. Tapi apa tidak apa-apa?” Tanyaku.
“Kenapa apanya, kak?”
“Aku kan dikenal sebagai orang yang aneh di sini. Apa tidak apa-apa kamu berteman dengan Senior yang aneh sepertiku ini? Nanti popularitasmu turun, lho.”
“Tidak apa-apa. Memangnya mereka yang mengatur aku dalam memilih teman. Aku tidak popular. Mereka saja yang mendekatiku.”
“Baiklah. Namaku Nur Aisyah, panggil saja Ai. Senang berkenalan denganmu.” Kataku mengulurkan tangan. Dan ia pun membalas jabatanku.
“Nama saya Muhammad Nur. Panggil saja Akhmad. Wah… nama kita hampir mirip ya, kak. Cuma beda belakang sama di mukanya saja.”
Aku tersenyum kecil. Akhirnya aku bisa merasakan yang namanya berteman. Sudah sekian lama aku tidak merasakannya. Tapi ada satu hal yang membuatku bingung, kenapa ia tidak mempunyai belahan bibir. Biasanya setiap orang memilikinya. Aku memandangnya, memperhatikan bibirnya. Siapa tahu saja aku salah.
“Ada apa, kak?”
Ternyata memang tidak ada belahannya. Mungkin karena faktor keturunan.
“Kak?”
“Ah… tidak. Tidak ada apa-apa.”

Selama aku berteman dengan Akhmad, aku mendapatkan hari-hari yang menyenangkan. Tidak ada lagi hari-hari suram yang aku rasakan, mungkin Akhmad dikirim oleh yang Maha Kuasa untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dan aku sangat mensyukuri itu. Sekian lama kami berdua berteman, Akhmad pernah diolok-olok oleh teman-temannya pada tahun kedua kuliahnya. Dan aku pernah menyarankan untuk memperjauh hubungan pertemanan kami supaya ia tidak diolok-olok lagi, tapi ia tidak menyetujui saranku. Ia berkata ‘Bukan mereka yang mengatur aku untuk memilih teman. Kalau aku mau berteman dengan kakak, ya aku berteman denganmu’ hal indah yang dikatakan oleh Akhmad melalui mulutnya sangat menyentuh hatiku. Dan pada saat tahun terakhirku, aku disibukkan dengan pekerjaan dalam membuat Skripsi. Tentu saja aku sangat kesusahan dalam mencari bahan. Tapi dimana aku kesusahan, Akhmad selalu ada untuk membantuku. Walaupun saat itu dia masih semester ke-3, dia mengerti bahan yang bagus untuk Skripsiku. Dan itu sangat mengagumkan untuk laki-laki yang masih bergelut di semester ke-3. Aku sangat mengagumi laki-laki yang membantuku ini.

Hari itu adalah hari Ujian Skripsi. Dan aku diwawancarai mengenai topik skripsi yang aku buat. Di dalam aku melihat Dosen Yuda juga turut ikut mewawancaraiku. Di dalam ruangan yang berisi 5 orang Dosen pembimbing dan aku. Mereka menanyakan topik dan tujuanku memilih judul dalam Skripsiku. Aku menjelaskan kepada mereka dari awal hingga akhir mengapa aku memilih judul yang aku buat dalam Skripsiku. Hingga aku pun memberikan alasan dan kesimpulannya, dosen yang memperhatikan dan mendengarku, berangguk pelan. Setelah aku selesai mengatakan semua penjelasanku, aku pun melihat ke para Dosen. Reaksi mereka sangat tenang, kemudian mereka saling berpandang satu sama lain berkomunikasi lewat kontak mata. Dan dengan tersenyum mereka berkata,
“Penjelasan yang bagus Nona Ai. Tidak salah Yuda menyuruhmu untuk masuk ke dalam ruang lebih dahulu. Kami sangat puas. Kamu secara resmi dinyatakan LULUS,”

“Allhamdullillahirabbilallammin…” Aku mengusap dada, dan mengucapkan kata syukur.
Lalu aku pun keluar dengan rasa berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikanku ketegaran dan mempermudahkan aku dalam menghadapi ujian kali ini. Aku melangkahkan kaki ke luar dari ruangan itu, ketika aku sudah berada di luar kulihat Akhmad sudah menungguku dengan cemas.
“Bagaimana, kak?” Tanyanya dengan nada cemas.
“AKU LULUS, AKHMAD! KYAAA…” Aku bersorak riang dan menghamburkan pelukkanku ke Akhmad.
“Selamat ya, kak. Kakak sudah berusaha.”
“Ini semua juga berkat kamu, Akhmad. Terima kasih ya.”
“Sama-sama. Selebihnya kan kakak yang mengerjakannya. Oh iya, kak. Mau sampai kapan meluk aku?”
Mendengar pertanyaan Akhmad, aku langsung melepaskan pelukkanku. Dan aku merasakan pipiku panas.
“Oh… maaf ya,”
“Tidak apa-apa,”

Suasana menjadi hening.

“Kak…?” Tanyanya lagi.
“Iya? Ada apa?” Jawabku.
Akhmad menatapku dengan pandangan serius. Lalu dengan sigap ia langsung memegang tangaku.
“Kak! Baru kali ini aku melihat kakak sesenang ini. Aku ingin membuat kakak bahagia selamanya. Aku ingin di sisi kakak dan menghibur kakak,”
Aku tercengang. Serasa tidak percaya dengan yang baru saja Akhmad katakan. Apakah ini yang dinamakan pernyataan cinta.
“A… aku. Tapi Akhmad, umur kita berbeda jauh dan itu sangat tidak mungkin.”
“Tapi…”
“Akhmad aku tidak bermaksud untuk tidak menolak tawaranmu. Coba kamu pikir lagi. Apa kamu mau menerimaku yang seperti ini?”
“Tentu saja. Aku tidak pernah melihat perempuan tegar seperti kakak dan aku sangat menyukai sifat kakak yang seperti itu. Jadi mau kah kakak berada di sisiku selamanya?”
Aku mengangguk. Lalu dengan sekejap Akhmad langsung memelukku dan mengangkatku. Senyum gembira tertera di wajahnya yang polos. Aku memberikannya senyuman kecil. Sesuatu hal mengganjal pikiranku mengenai hubunganku dengan Akhmad. Masalahnya, dalam hukum Islam jika seorang lelaki dan perempuan telah mengetahui sifat satu sama lain, dan lelaki tersebut menyatakan perasaannya. Itu menyatakan bahwa lelaki itu sedang mempersunting perempuan tersebut. Sedangkan Akhmad tidak tahu asal usul keluargaku, dan keadaan Ibuku. Dan aku sangat bingung ketika aku menerima tawarannya, dia langsung ingin segera menemui orangtuaku. Dengan terpaksa aku membawanya kepada Ibuku.

Sesampainya di rumah, aku mempersilahkannya duduk di ruang tengah. Aku naik ke atas dan memasuki ruangan itu lagi. Kubuka pintu itu, di dalam kutemui Ibuku yang sedang berdiri di depan cermin.
“Bu… ada seseorang yang ingin bertemu dengan ibu. Calon suami Ai, dia ingin meminta restu dengan Ibu,”
Ibu langsung berjalan melewatiku, keluar dari ruangan itu. Baru kali ini Ibu keluar dari ruangan semedinya setelah sekian lama. Ibuku dan aku menuruni tangga, Akhmad yang melihat langsung berdiri. Tapi ketika Ibuku melihat ke Akhmad, bola mata Ibu langsung membesar.
“HAH! Sedang apa kau disini?! Keluar kau! Kau tidak berhak berada disini! KELUAR!!!” Teriaknya.
Aku terkejut dengan kelakuan Ibu yang mendadak histeris.
“Ibu! Ibu kenapa?! Ini Akhmad calon suami Ai, bu.”
“TIDAK! KELUAR!!!”
Akhmad hanya memasang wajah serius ketika bertemu dengan Ibuku. Kami berdua pun keluar. Mengantar Akhmad ke depan pintu, jeritan histeris Ibu masih terdengar dari luar.
“Maaf ya, Akhmad.”
“Tidak apa-apa, kak. Kalau begitu aku pulang dulu. Assallammuallaikum.”
“Wallaikumsallam. Akhmad.” Panggilku.
Ia menoleh.
“Jangan panggil aku dengan sebutan ‘kakak’ lagi. Panggil saja aku Ai.”

Ia tersenyum dan pergi meninggalkan rumahku. Tapi pada keesokkan harinya aku meminta nasihat kepada paman dan bibiku mengenai lamaran Akhmad kepadaku. Dan aku masih memiliki kendala untuk mendapatkan restu. Akhirnya paman dan bibiku menyuruhku untuk membawa Akhmad dan memperkenalkannya kepada mereka. Dan tepat pada malam hari, aku memperkenalkan Akhmad kepada paman dan bibiku. Dan luar biasa, reaksi paman dan bibiku terhadap Akhmad sangat memukau. Dalam sekejap paman dan bibiku langsung menyukai Akhmad. Dan pada malam itu juga Akhmad mendapatkan restu dari paman dan bibiku, lebih baiknya lagi paman bersedia untuk menjadi waliku.
“Tolong jaga keponakan kami, nak Akhmad.” Ucap pamanku sembari tersenyum.

Pernikahan kami di selenggarakan pada Tanggal 05 Mei 2010. Aku duduk bersanding bersama Akhmad. Proses akad nikah berjalan lancar dan tidak ada kendala sama sekali. Aku dan Akhmad sangat bahagia pada saat itu, sayangnya orangtua Akhmad tidak dapat datang pada hari itu. Dikarenakan jarak yang sangat jauh dapat memungkinkan penyakit Ayahnya kambuh lagi. Dan yang dapat mewakilkannya hanya kakak dari Akhmad. Setelah proses akad nikah selesai, kami semua pergi ke rumah pamanku untuk acara pestanya. Tapi keesokkan harinya, Akhmad harus segera turun kuliah untuk mengajukan Skripsinya. Dan aku mulai merekomendasikan diriku kepada salah satu Perusahaan Marketing terbesar di Semarang, dan aku sangat bersyukur aku diterima dengan senang hati. Dan aku langsung diangkat menjadi Manejer Marketing karena nilai yang kuperoleh pada saat kuliah.

Hari-hari yang kulalui penuh dengan pekerjaan, dan Akhmad pun sibuk dalam menyelesaikan kuliahnya dan minggu depan ia akan Ujian Skripsi. Waktu untuk kami saling bertemu sangatlah sedikit, dan kami berdua belum mempunyai rumah. Dan masih belum terpikir untuk membeli rumah, mengingat Akhmad masih belum lulus. Dan pada minggu Akhmad Ujian Skripsi aku minta cuti dengan atasanku untuk mendampinginya. Seperti dia mendampingiku saat aku Ujian Skripsi pada waktu itu. Dengan gelisah aku menunggunya di luar ruangan. Beberapa menit kemudian aku melihat pintu ruangan itu pun terbuka, kulihat sosok Akhmad yang sedang berjalan. Lalu ia pun menghampiriku, wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi senang. Melainkan ekspresi datar, pada saat itu kukira ia tidak lulus. Tapi beberapa detik kemudian ia langsung berteriak memeluk dan mengangkatku.
“AKU LULUS, AI…” Soraknya.
Aku yang mendengarnya langsung meneteskan air mata bahagia. Dan juga mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan kemudahan untuk Akhmad.

Malamnya Akhmad dan aku berencana mengundang paman dan bibiku untuk makan malam di luar dalam rangka kelulusan Akhmad. Paman dan bibi sangat bangga kepada Akhmad. Dan pada hari berikutnya Akhmad mulai membuka toko komputernya, dan menunjukkan keahliannya dalam Bidang Teknologi.
Bulan demi bulan kami isi dengan kesibukkan masing-masing dalam pekerjaan sampai pada suatu hari Akhmad mempertanyakan sesuatu ketika kami sedang makan siang di luar.
“Ai?” Tanyanya.
“Iya, mas?” Balasku.
“Begini, lusa kan aku mau cuti sebentar dan ingin pulang ke kampung halamanku.”
“Kenapa mendesak sekali, mas?”
“Penyakit Ayah kambuh lagi,” Tukasnya.
“Astagfirrullahallazim. Kenapa?” Kataku, terkejut.
“Mas juga tidak tahu, Ai. Makanya kalau mas pulang kamu mau tidak ikut sama mas?”
Aku mendongkakkan kepalaku.
“Tapi… apa tidak apa-apa, mas. Aku masih masih belum siap bertemu dengan orangtuamu. Malu. Bisa-bisa pas aku bertemu dengan orangtuamu, mereka langsung menyuruh kita cerai.”
“Ya Allah… Ai… Ai… pikiran kamu jauh sekali. Masa orangtuaku sekejam itu, ya tidak lah. Ikut saja sekalian bertemu dengan keluarga besarku di sana.”
“Aku mau saja, mas. Tapi apa tidak apa-apa?”
“Aduh ai… kamu ini segugup itu ketika ingin ku bawa ke mertuamu.”
“He… he…”
Aku menyeringai.
“Di mana kampung halaman kamu, mas.”
“Di Kalimantan Tengah.”
“Wah… jauh sekali. Pantas orangtuamu tidak bisa datang ke pernikahan kita.”
“Walaupun jauh pemandangan di sana sangat indah sekali, lho. Dan kampungnya di pinggir pantai lagi.”
“Yang benar? Tapi mas, aku juga kebetulan ditugaskan atasanku untuk menjadi manajer di salah satu Perusahaan Sawit yang ada di Kalimantan Tengah. Dan minggu depan aku berangkat.”
“Nah… sekalian saja. Tapi di kota mana?”
“Di kota Sampit. Tapi harus pulang pergi lagi menggunakan travel ke kilometer 21.”
“Nah… kalau begitu kita berangkatnya minggu depan saja.”
Aku pun mengangguk tanda setuju.
“Tapi sebelum berangkat, kita berpamitan dengan Ibumu dulu. Sudah lama kamu tidak menjenguk Ibumu.” Kata mas Akhmad.
Aku pun menundukkan kepalaku. Iya sudah lama aku tidak menjenguk Ibu. Aku tak tahu keadaannya saat ini semenjak aku tinggal di rumah paman dan bibi.
“Iya. Baiklah, mas.”

Aku dan mas Akhmad sudah menentukan hari kapan kami berangkat. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu mertuaku. Mereka seperti apa ya? Pasti mereka orangnya baik sama seperti mas Akhmad.

Hari demi hari terus berlalu. Waktu untuk berpamitan dengan Ibuku pun telah tiba, aku berdua mas Akhmad mengendarai mobil menuju rumah Ibu. Kami memasuki rumah megah, tapi keadaan rumah saat itu sangat berantakkan seakan tidak ada sama sekali orang yang mengurusnya. Aku memandang rumah yang dulunya kutinggali, keadaannya sangat jauh berbeda ketika aku meninggalkan rumah ini. Aku dan mas Akhmad memandang tak percaya dengan apa yang kami lihat. Rumah yang dulu sangat megah dan indah, kini terlihat seperti rumah kosong dan bernuansa angker.

“AAARRRGGGHHH!!!”
Aku terkejut mendengar jeritan keras yang berasal dari rumah. IBU! Aku pun langsung berlari masuk ke dalam rumah dan tak menghiraukan panggilan mas Akhmad. Aku menaiki tangga dengan cepat, menuju ke ruangan yang dulunya sangat kubenci. Ruangan berpintu besar berada di hadapanku, langsung kubuka pintunya. Ketika kubuka, kulihat Ibuku telah terkapar di atas lantai. Lalu aku serasa tak percaya dengan apa yang telah kulihat di depan mata kepalaku. Perempuan yang membuatku koma selama 3 minggu berdiri di samping Ibuku. Ia melihatku dengan mata merahnya, lalu menghilang meninggalkan asap hitam pekat.
Aku langsung memeluk Ibuku yang tergeletak diam di lantai dengan mata membelalak lebar dan mulut ternganga serta mengeluarkan lidahnya.
“Ibu! Ibu! Ibu!”
Aku meraih pergelangan tangan Ibuku, dan merasakan denyut nadinya. Tidak ada!
“Ibu…! Ibu…! IBU…! MAS…! MAS AKHMAD…!” Teriakku. Memanggil mas Akhmad.
Mas Akhmad muncul di balik pintu dengan wajah cemas. Aku langsung menangis dengan Ibu dalam pelukkanku.
“Mas… Ibu mas…”
Mas Akhmad mendekat dan merasakan denyut nadi Ibuku sekali lagi.
“Innallillahhi Wainnallillahhiroziun. Ai, Ibu telah berpulang kepada yang maha kuasa.” Tukas mas Akhmad.

Aku langsung menangis dengan keras dan memeluk erat mayat Ibuku. Dan mas Akhmad pun ikut memelukku, menenangkanku.
“Kita harus hubungi keluargamu, Ai.”

Hari pemakaman Ibuku penuh dengan haru. Aku sangat sedih dengan kepergian Ibuku yang sangat aku sayangi walaupun ia sering tidak terlalu memperhatikanku. Tapi aku sangat menyayanginya, kenapa Ibu meninggal dengan cara yang sangat tragis. Mas Akhmad selalu berada di sampingku, menenangkanku dan menjagaku. Dan aku sangat menghargai perbuatan suamiku. Ketika malam tahlilan, dan membaca Surah Yaasin mataku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sampai aku tak sanggup lagi dan beranjak masuk ke dalam kamar rumah paman dan bibiku. Orang-orang pun selesai mengirimkan Do’a untuk Ibuku, kudengar para wanita yang berada di dapur telah menyuguhkan makanan untuk semua orang yang datang dalam tahlilan malam itu. Pintu kamar yang aku masuki terbuka, sosok mas Akhmad yang menggunakan baju koko dan memakai kopiah menghampiriku.

“Ai… sudahlah. Ikhlaskan saja,” Kata mas Akhmad dengan suaranya yang lembut. Tangannya yang besar dan kokoh mengusap air mataku yang masih berjatuhan.
“Aku sudah merelakannya, mas. Tapi kondisi Ibu ketika meninggal sangat membuatku terpukul.”
Mas Akhmad diam.
“Ai… bagaimana kalau kita membangun rumah?”
“Hah… membangung rumah.”
“Iya. Bagaimana kita berkeluarga dan tinggal di kampung halamanku dan meninggalkan kehidupan kota. Kita akan membangunnya di dekat pantai, tapi agak jauh dari rumah Ayah dan Ibuku. Bahan-bahannya sudah disediakan disana biayanya pun menggunakan uang gajiku.”
Aku terdiam.
“Apakah engkau mau, Ai?” Tanyanya dengan nada sendu.
Aku berfikir sejenak. Menimbang-nimbang penawaran mas Akhmad yang sangat memungkinkan untukku. Aku mendongkakkan kepalaku, dan menatap mata mas Akhmad dengan tajam. Dan aku pun berkata.
“Baiklah. Aku mau, mas.”
“Allhamdullillah. Ternyata kamu setuju dengan penawaranku. Aku sudah minta izin dengan paman dan bibimu, dan mereka menyetujuinya.”
Aku tersenyum kecil. Wajah ceria mas Akhmad terpancar ketika aku berkata setuju kepadanya. Dan aku merasa aku sangat beruntung mempunyai suami yang bijaksana seperti mas Akhmad, walaupun ia lebih muda dariku. Dan ia tidak membandingi perbedaan umur kami.

Kami berdua akan berangkat pada hari senin. Aku dan mas Akhmad pamit pada hari senin itu. Perjalanan jauh dan melelahkan menunggu kami, perjalanan melalui udara dan darat. Setelah 16 jam perjalanan kami pun sampai di kampung halaman mas Akhmad. Memang benar apa kata mas Akhmad, kampung ini sangat indah tepat berada di dekat pantai. Pohon-pohon kelapa mengelilingi kampung ini, dan hebatnya lagi kampung ini sangat bersih dan asri.
“Nah… Ai. Selamat datang di Kampung Kalap. Ini adalah kampung yang sangat aku cintai dan sayangi,”
Aku melangkahkan kakiku di atas kampung yang aku tidak kenali ini, tapi kampung ini sangat membuatku takjub dengan pemandangan pantai yang sangat indah serta kampungnya.

Mas Akhmad membimbingku menuju sebuah rumah berpondasikan kayu ulin yang sangat kuat. Rumah itu agak besar tetapi lebar, dan desainnya ala Kalimantan Tengah sekali. Sekerumunan orang-orang yang berada di kampung menyambut kami berdua. Ternyata mas Akhmad sangat dikenal di kampungnya, dan orang-orang yang ada di kampung ini sangatlah ramah. Dan kulihat di muka rumah yang kusebutkan tadi berdiri dua orang wanita dan lelaki paruh baya dan aku juga melihat kakak Akhmad. Jangan-jangan wanita dan lelaki itu mertuaku, orangtua mas Akhmad. Ketika kami menghampiri orangtua mas Akhmad, mereka langsung memeluk mas Akhmad. Mas Akhmad mencium tangan kedua orangtuanya dan kakaknya. Keluarga yang sangat harmonis, aku selalu mendambakan keluarga seperti ini.

“Mai, jituh sawan kula,” (Bu, ini istri saya). Kata mas Akhmad dalam bahasa yang sama sekali tidak aku ketahui.
Lalu Ibu mas Akhmad tersenyum dan memegang pipiku, dengan refleks aku langsung mencium tangan Ibu mas Akhmad. Ibu mas Akhmad berkata sesuatu dan aku sama sekali tidak mengerti. Mas Akhmad menyadari raut wajahku yang sangat kebingungan, lalu membisikkan sesuatu di telinga Ibunya. Lalu Ibunya langsung seperti orang terkejut dan lupa.
“Jadi ini namanya nak Aisyah. Kamu cantik sekali, nak. Akhmad, Aisyah ayo masuk. Masa kita berdiri di sini, nanti kaki cepat lunglai.” Kata Ibu mas Akhmad dengan Bahasa Indonesia yang sangat lancar, sambil tertawa dan mempersilahkan masuk.
“Ah, ibu ini,” kata mas Akhmad.

Kami semua pun masuk ke dalam rumah orangtua mas Akhmad. Keadaan di dalam rumah sangat rapih dan terurus, dan sangat bersih serta tertata. Kami semua bercerita-cerita tentang kisah masing-masing. Sangat menyenangkan tinggal bersama keluargaku yang baru ini, terutama Ibu dan Ayah mas Akhmad yang sangat baik hati.

Malamnya kami makan malam, masakan yang dibuat Ibu mas Akhmad sangat enak. Aku sampai nambah dua kali. Dan aku langsung minta diajarkan resep masakan Ibu mas Akhmad yang namanya ‘Gangan asam’. Ternyata ‘Gangan Asam’ itu dalam Bahasa Indonesianya itu sayur asem, tapi yang di buat Ibu mas Akhmad sangat enak dan bisa diacungi jempol. Keharmonisan yang aku dapatkan bersama keluarga baruku sangatlah membuatku terharu. Pernah mas Akhmad mengatakan kepada Ibunya bahwa aku saat ini sebatang kara dan Ibuku telah meninggal. Dan Ibu mas Akhmad pun berkata “Kamu telah mempunyai keluarga baru disini. Dan Ibu sangat senang jika kamu memanggil Ibu dengan panggilan ‘Ibu’” saat itu aku langsung meneteskan air mataku, seumur-umur Ibuku tidak pernah berkata seperti itu. baru kali ini ada seseorang yang berkata dengan ikhlas seperti itu. Lalu pada suatu hari aku minta izin kepada mas Akhmad untuk berjalan-jalan di tepi pantai, selagi mas Akhmad sedang membangun rumah untuk kami.

Ketika aku berjalan-jalan di pinggir pantai, dari kejauhan terlihat seorang nenek berjubah hitam berjalan menghampiriku. Kulitnya sangat mengeriput, matanya yang memutih sangat membuatku ketakutan. Lalu ia menunjukku dengan telunjuknya, dan berkata.
“Kau… kau tidak pantas berada disini.” Katanya dengan nada parau layaknya seorang nenek yang sudah memasuki usia senja.
“Memangnya kenapa, nek? Ini adalah kampung halaman suami saya dan kami akan tinggal di sini. Dan saya sangat menyukai penduduk kampung di sini.” Balasku.
“TIDAK! Kau harus pergi dari sini sesegera mungkin,”
Aku bingung dengan perkataan nenek yang sedang berada di depanku ini. Lalu ketika sesuatu luput dari mataku aku menoleh ke belakang. Dan ketika aku menoleh kembali, nenek yang berada di depanku sudah menghilang. Aku sangat terkejut. Secepat itukah nenek tersebut pergi. Lalu malamnya aku mengalami muntah-muntah hebat. Aku terus keluar dan memuntahkan semua makanan yang ada di dalam perutku, dan itu sangat menyakitkan. Mas Akhmad cemas melihat keadaanku dan mendampingiku.

Beberapa minggu kemudian, rumah dambaan kami pun jadi. Rumah yang dibangun dengan kayu sama seperti rumah Ayah dan Ibu mertuaku. Terbuat dari kayu ulin dan berada di dekat pantai dan agak jauh dari rumah Ibu dan Ayah mertuaku. Kami berdua pun kembali bekerja. Aku berkerja sebagai manejer di Perusahaan Sawit dan mas Akhmad membuka cabang toko komputernya di Kota Sampit. Kami pulang pergi dari rumah menggunakan travel. Sungguh hari-hari yang melelahkan membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami. Lalu malamnya aku muntah-muntah lagi, rasa sakit pada perut dan saluran nafasku tak tertahankan lagi. Mas Akhmad semakin cemas dengan keadaanku, dan ia pun menaruh curiga kepadaku.
“Ai, apa kamu tidak apa-apa. Ini minum air putih.” Katanya, sembari menyorongkan gelas berisi air putih.
“Makasih, mas.”
“Ai, dari semalam kamu terus muntah-muntah. Jangan-jangan kamu hamil.”
“Bisa saja, mas. Aku sudah telat 3 bulan. Tapi… tunggu. Aku ambil alat tes kehamilan dulu.”

Aku pun mengambil alat tes kehamilan di dalam lemari dan beranjak menuju kamar mandi. Ketika aku melihat hasilnya aku sangat terkejut. Lalu aku keluar mendatangi mas Akhmad.
“Mas…” Panggilku.
Mas Akhmad pun berdiri. Dengan pandangan cemas ia menatapku.
“Mas… aku… aku POSITIF HAMIL.” Sorakku. Dan menghamburkan pelukkan ke mas Akhmad.
“Akhirnya Aisyah. Kita akan segera memiliki anak.”

Kabar bahwa aku hamil pun di beritahukan kepada Ayah dan Ibu. Mereka sangat senang dan berkunjung ke rumah kami. Sungguh hari yang sangat menyenangkan. Buah hati yang selalu kami dambakan akan segera datang. Setiap hari aku mengelus-elus perutku dan menyanyikan Salawat Nabi untuk janin yang berada di dalam perutku ini. Mas Akhmad juga kegirangan dan sering menempelkan telinganya di perutku. Bulan demi bulan berlalu, aku cuti bekerja karena sedang mengandung. Perutku kian menjadi besar, menandakan bahwa kandunganku semakin tumbuh. Dan bayi yang berada dalam perutku ini sering kali menendang-nendang. Ketika ia menendang, aku selalu membacakan Salawat Nabi untuknya dan ia berhenti menendang. Kelak anak ini akan menjadi anak yang shaleh, berbakti kepada kedua orangtuanya dan menolong sesama. Mas Akhmad pun menunjukkan ekspresi aneh ketika bayi yang ada di dalam perutku ini menendang dan aku tertawa geli melihatnya. Aku sangat bersyukur karena Allah SWT telah mengirimkan buah hati yang akan selalu mengisi hari-hari kami.

Pada suatu sore, aku kembali berjalan-jalan di pinggir pantai agar anakku dapat merasakan angin sepoi-sepoi dan suara ombak yang berderu. Tapi ketika aku ingin beranjak pulang ke rumah, sosok nenek yang aku temui beberapa bulan lalu tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku langsung mundur beberapa langkah. Ia terus maju dan aku mundur beberapa langkah lagi.
“M, mau apa kau?” Tukasku.
Nenek itu cuma tersenyum. Dan mulai mendekatkan tangannya ke perutku. Aku langsung menepisnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Kataku, kemudian menjauh dari nenek tersebut.
“Aku ingin sesuatu yang berada dalam perutmu.”
“Apa?! Tidak! Aku tidak akan memberikan anakku kepadamu. Lagipula apa salahku?”
“Salahmu…”
Lalu dalam sekejap nenek itu berubah menjadi perempuan dan bayangan hitam bermata merah darah yang membunuh Ibuku. Aku sangat terkejut melihatnya.
“Kau…”
“Iya. Aku lah yang membunuh Ibumu. Ibumu berjanji untuk memberikanmu kepadaku sebagai tumbal. Tapi saat ini yang aku mau adalah bayi yang ada di dalam perutmu itu.”
“TIDAK! Aku tidak akan memberikannya kepadamu!”
Nenek itu terus mendekat mencoba memegang perutku. Aku terus menjauh, berusaha untuk tidak menyerahkannya kepada nenek jahat yang berada di depanku.
“AISYAH! Menjauhlah dari nenek itu.”
Sebuah suara terdengar di telingaku, suara yang sangat familiar. Ketika kutoleh asal suara itu, kulihat mas Akhmad berdiri di pinggir dinding pasir disertai dengan seluruh penduduk dan keluargaku. Ayah dan Ibu mertuaku juga ikut. Lalu kulihat nenek itu sangat terdesak. Mas Akhmad pun mendekatiku merangkulku dan mencoba membawaku menjauh dari nenek itu. lalu seluruh penduduk yang ada di kampung kalap menyerang nenek itu.
“Kau tidak akan bahagia hidup bersama laki-laki itu Aisyah. Dia bukanlah laki-laki seperti yang kau kira. Kau akan menyesalinya.” lalu nenek itu akhirnya mati dan berubah menjadi abu yang ditiup angin laut.

Aku yang masih syok, dibawa mas Akhmad, Ayah dan Ibuku menuju rumah kami. Ketika kami berada di dalam, mas Akhmad meminta untuk membiarkanku berdua saja bersamanya. Mas Akhmad duduk di sampingku. Aku masih memikirkan kata-kata terakhir yang dikatakan nenek itu. lalu aku mulai bertanya kepada mas Akhmad.
“Mas, apa mas menyembunyikan sesuatu dariku?” Tanyaku.
Mas Akhmad terkejut dengan pertanyaanku. Lalu ia pun memegang tanganku.
“Ai, sebelumnya aku minta maaf. Kata-kata nenek itu benar. Aku bukanlah laki-laki seperti yang kau kira,”
“Sebenarnya aku bukanlah manusia sepertimu,”
Sudah kuduga. Batinku.
“Aku memang bisa dibilang manusia biasa karena menjalani kegiatan yang sama seperti manusia normal lainnya. Tapi aku beda, aku tidak memiliki raga. Dan aku sudah mengetahui bakatmu dalam melihat hal-hal aneh, makanya aku berani membawamu ke kampung ini. Apakah kau marah, Ai?”
Aku diam. Menatap wajah suamiku yang sangat polos ini. Tertera jelas rasa kecewa di wajahnya. Aku pun memegang tangannya.
“Mas, aku sudah tahu dari dulu.”
Mas Akhmad terkejut dengan perkataanku.
“Hah. Kamu sudah tahu. Kalau kamu sudah tahu kenapa kamu tidak mengatakannya dari dulu?”
“Itu cuma tebakkan Ai saja, mas. Tapi ternyata tebakkan itu benar. Aku sudah merasakan hal yang berbeda padamu dan keluargamu yang sangat baik.”
Kulihat wajah mas Akhmad berubah jadi murung.
“Jadi… kamu mau kita cerai?”
“Ya Allah mas… mas… memang aku ada berkata seperti itu?”
“Ya tidak ada, sih. Tapi aku tahu kamu pasti mau minta cerai.”
“Ya tidaklah, mas. Aku sudah menerimamu apa adanya. Kamu tetap mas Akhmad milikku, aku menerimamu apa adanya. Aku menerima semua kekuranganmu. Bagiku kamu adalah orang satu-satunya yang memberikan kebahagiaan kepadaku. Dan kamu adalah suami yang hebat dan aku yakin kamu akan menjadi ayah yang hebat ketika buah hati kita nanti lahir.” Kataku, tulus. Mengeluarkan segala isi hatiku.
“Oh… Ai… aku sangat menyayangimu. Kamu adalah istri terbaik yang ada di dunia.”
Mas Akhmad memelukku dengan erat. Aku meneteskan air mataku di pelukkan mas Akhmad. Lalu tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa dari perut dan selangkanganku. Sesuatu ingin keluar.
“Aduh! Mas… perutku sakit!!” Teriakku. Mas Akhmad terkejut mendengar jeritanku.
“Jangan-jangan kamu mau melahirkan. Tunggu sebentar Ai, mas akan panggilkan Ibu dan dukun beranak.”
“Aaakkkhhh!!!”

Mas Akhmad pergi keluar sebentar untuk memanggilkan Ibu dan dukun beranak. Beberapa saat kemudian mas Akhmad datang membawa Ibu dan dukun beranak. Ibu langsung membaringkanku di atas kasur, dan dukun beranak langsung memberi instruksi kepadaku. Rasa sakit yang luar biasa menyiksaku, berusaha untuk membawa anakku melihat dunia baru bumi. Aku terus menjerit dan menyebut nama Allah SWT, berharap di berikan kemudahan dan tidak terjadi halangan apa pun. Aku terus mendorong dan mengikuti arahan dari dukun beranak tersebut. Rasa sakit sangat menyiksaku, kulihat mas Akhmad memegangi tanganku, besimpuh di sampingku.

OOEEKK!!!
Suara tangisan bayi terdengar di telingaku. Seluruh orang yang berada di sekitarku mengucapkan syukur kepada yang Maha Kuasa begitu pula aku. Seorang anak manusia telah terlahir di muka bumi untuk mengisi hari-hariku bersama mas Akhmad. Seorang anak yang akan memberikan kebahagiaan kepada kami.
“Kamu sudah berusaha Aisyah,” Kata mas Akhmad, kemudian mengecup keningku.

Kulihat anakku sedang digendong ayahnya, kemudian ia memberikannya kepadaku. Anakku yang kutunggu-tunggu telah datang. Lalu mas Akhmad menyerukan Takbiratul Ilham sebagaimana ajaran Islam ketika bayi di lahirkan di bumi. Ketika mas Akhamd menyerukan Takbir, bayi yang berada dipelukkan aku tersenyum kecil dengan mata terpejamnya. Dan hal itu sangat memukau. Seluruh keluargaku menyaksikan pemandangan itu. Anak dari orangtua yang berbeda dunia. Tapi itulah kelebihannya, anak shaleh telah terlahir di dunia dan membawa kebahagiaan untuk semua orang.
“Mas, saatnya memberikan nama.” Ucapku.
“Menurutmu nama anak kita apa?”
“Aku tahu. Namanya adalah Muhammad Akbari.”
“Nama yang bagus Aisyah.” Sahut Ibu mertuaku.
“Iya. Nama yang bagus Ai. Akbari.”
“Ibu harap kamu akan menjadi anak yang Shaleh dan memberikan kebahagiaan kepada kami kelak. Akbar kecil.” Aku tersenyum.

Kehidupanku bersama seorang lelaki berbeda dunia tidak akan pernah kusesali. Karena lelaki itulah yang telah memeberikan kebahagiaan yang sama sekali tidak dapat kubayar dengan uang. Karena dialah orang yang dikirim Allah SWT untuk membahagiakanku. MUHAMMAD NUR

Cerpen Karangan: Meisy Pratiwi
Source:

-----