4 Okt 2014

Aku Menikahimu karena Aku Mencintainya




Pukul 05:30Langkahku kini kian ringan, menjelang detik-detik hari pernikahanku. Aku seolah memiliki kekuatan baru untuk menyongsong masa depan. Keraguan itu kini tak lagi menyelimuti hatiku, meski tak dapat ku pungkiri aku masih setengah hati mencintainya. Tapi toh dia mampu meyakinkan ku untuk menerima pinangannyaMalam itu, adalah pertemuan terakhir kami mejelang hari H akad nikah, ia katakan banyak hal yang membuatku merenung dan ikhlas menerimanya untuk jadi suamiku.

“Mungkin, buatmu aku bukanlah sosok laki-laki yang kau harapkan Nay… pertemuan yang cukup singkat, dengan pendekatan yang seadanya… aku yakin, saat ini pasti ada perasaan ragu di hatimu” tak seperti biasanya, kala itu ia berani memegang kedua tanganku, memegang erat jari jemariku sambil menatap wajahku ia pun melanjutkan apa yang ia ingin katakan padaku

“Hanya sebuah niat tulus untuk mengajakmu lebih dekat kepada Allah, yang aku punya. Apapun yang terjadi aku siap menerima, jika kau ingin mengurungkan pernikahan kita 1 minggu ke depan aku ikhlas Nay…”Matanya begitu redup dan penuh dengan kelembutan, saat itu ia terlihat begitu tampan tak seperti biasanya. Raut mukanya terlihat sedikit memelas. Aku pun hanya terdiam, entah kenapa tiba-tiba hatiku seolah menangis, “inikah jalan hidupku Ya Allah?”Kutundakkan kepala sejenak, sembari berusaha untuk menahan air mata yang akan keluar dari kedua mataku.“Jodoh, mati, rejeki sudah ada yang mengatur, kita manusia hanya berusaha semaksimal mungkin sesuai kemampuan kita disertai doa, kita jalani saja apa yang sudah sampai saat ini kita usahakan mas…”Sambil tersenyum, ku ucapkan kata-kata itu, dengan raut muka yang memberikan pengharapan padanya.

Tak ada yang salah dengan status dudanya, sosoknya yang begitu ramah membuat dia memiliki banyak teman. Pekerjaannya sebagai pengusaha bengkel saat ini juga cukup lumayan untuk menghidupiku dan anak-anak kami kelak. Postur tubuhnya tinggi besar, dengan sedikit lesung pipit di pipinya. Fisiknya cukup lumayan untuk ukuran laki-laki tampan, tapi entah kenapa aku tak juga bisa mencintainya sepenuh hati. Mungkin karena beberapa sifatnya yang tidak aku suka, benar yang ia katakan “dengan pendekatan yang cukup singkat, aku yakin pasti kau memiliki rasa ragu di hati mu saat ini Nay…” hmmm… dia sedikit kasar, tidak beraturan, dan “kisruh” kalau kata orang jawa. Dia memang tak pernah membentakku, tapi nada bicaranya selalu lantang dan ga ada halus-halusnya sama sekali. Bukan hanya itu, aku paling tidak suka dengan sikapnya yang semaunya sendiri.

Pernah suatu ketika, saat kami keluar bersama untuk sekedar makan malam di warung pinggir jalan. Selesai dari warung “Nasi Bebek Pak No”, kami tak langsung pulang, mampir di sebuah tempat penjualan terang bulan dan martabak daging, dalam penantian matangnya terang bulan dan martabak, kami bertemu dengan mantan istrinya yang sekarang bekerja di surabaya.

Maksudku menghampiri mantan istrinya, hanya sekedar mengobrol dan berkenalan sambil menanti jajanan pesanan kami matang. Namun dengan nada bicara yang tak bisa halus, ia mencegahku. Bukan hanya itu, ia bahkan menarik pergelangan tanganku dengan kuat, hingga hampir saja aku jatuh di tengah kerumunan pembeli lainnya. Saat itu, aku mulai menyadari. Sifat egois dan kasarnya begitu melekat di dirinya, aku begitu jengkel dan kesal rasanya. Belum pernah aku diperlakukan yang menurutku kasar seperti itu oleh laki-laki yang mengaku cinta kepadaku. Tiga kali menjalin hubungan dekat dengan laki-laki, dialah laki-laki yang paling kasar di antara tiga itu, dan bisa di bilang hanya dia yang kasar, sedangkan 2 teman dekat lelakiku terdahulu, begitu sopan lembut dan sangat perhatian kepadaku meskipun endingnya tiada keseriusan dari mereka. Hmmm.. mungkin memang inilah jalan hidupku. Ya Rabb.. tak seharusnya aku menghitung-hitung kekurangannya menjelang detik Ijab Qabul yang akan dia ucapkan 3 jam lagi, dan tak terasa air mataku mengalir begitu saja di pipi.

“Lho kog malah melamun… Inayah kamu menangis nak?” Ibuku datang, dan membuyarkan segala lamunanku“Kamu bahagia kan Nak?”(dengan sedikit terisak sambil tersenyum) “hiks.. hiks… bahagia bu, bahagiaaa banget ternyata jodohku mas rahmat, (penuh tawa canda namun ada yang disembunyikan) di tunggu-tunggu dari Jakarta eh dari daerah surabaya juga”“Ibu ga pernah ajarkan kamu bohong, semoga apa yang kamu ucapkan itu benar-benar yang kamu rasakan saat ini ya Nak…” sambil memeluk dan mencium keningku

Pukul 08.20Mas rahmat ucapkan ikrar suci itu, di balik kamar aku mendengarkan suaranya yang cukup lantang, dengan rasa nervous yang ga karu-karuan.“Saya Terima Nikahnya Inayah Maghfirah binti Muhammad Ali dengan mas kawin sebuah Tafsir Al Qur’an di bayar tunai”

Air mata kembali mengalir membasahi pipiku yang telah terpoles dengan aneka bedak dan make up, ada rasa haru, bahagia, juga nelangsa. Ku tepis rasa sesal dan nelangsa, ku yakinkan diri bahwa dialah jodoh yang sudah Allah tentukan untukku. Aku percaya lewat dia aku akan bisa lebih dekat kepada Allah dan RosulullahInilah akhir dari penantian panjangku, tiga tahun sudah aku tak menjalin hubungan dekat dengan laki-laki, dan 21 Januari 2003 ku tutup masa lajangku di usia 26 tahun bersama dengannya, mas rahmat. Duda 32 tahun, tanpa anak yang dikenalkan oleh temanku, bercerai dengan istrinya pada tahun pertama pernikahan karena ia mengalami PHK dari kantornya. Di awal perkenalan memang ada sedikit ragu di hati orang tuaku, tapi sikapnya yang mudah bergaul dengan keluargaku, membuat orang tuaku simpatik dan yakin kepadanya bahwa dia akan menjadi imam yang baik untuk putrinya kelak.Biarlah, ku niati semua ini sebagai ibadah, bagian dari usahaku untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Serapi apapun rencana hidup seorang manusia dengan segala usahanya, jika Tuhan tidak pernah menghendaki maka takkan pernah terjadi. Karena kekuasaan tertinggi ada pada Nya.

Pukul 22.30Suara keriuhan di rumahku sedikit demi sedikit mulai menghilang. Mungkin semua telah mulai lelah dan kecape’an dengan acara pernikahanku ini. Terlebih lagi ibuku yang dari 3 minggu kemarin sudah mencicil membuat kue-kue kering sebagai buah tangan para undangan di hari pernikahanku tadi. Aku sendiri pun merasa pegal yang tak terkira, mulai dari kepala yang harus menyandang jilbab dengan balutan bunga melati asli selama seharian, pipiku yang kram karena harus tersenyum tiap kali ada yang memberiku ucapan selamat, hingga tubuhku yang kesal bukan main karena seharian duduk berdiri-duduk berdiri.

Dan malam ini ada yang berbeda dikamarku, ada sesosok manusia laki-laki yang akan selalu menemani tidurku. Hmmm.. Muhammad Rahmat, akhirnya hari ini kau resmi jadi suamiku.Sambil kubersihkan sisa-sisa make up yang ada, aku mulai pembicaraan pertama dengan suamiku“Di ambilin makan mas?”“Engga’ usah, masih kenyang”“Oh.. ya sudah” (dengan melanjutkan menyapu pipi)“Dek…”Aku sedikit terkaget, kupalingkan tubuhku ke arahnya, tumben-tumbennya mas duda panggil aku dek“Apa…? Aku..?”“Ya iyalah, kan disini cuma ada kita berdua, masa aku panggil Dek Faris, adikmu itu”Huhhh… lagi-lagi dengan nada kasarnya, apa dia ga bisa ngomong biasa aja, ga pake’ lantang, batinku.“iya.. iya.. apa?”“kamu masih belum shalat ya?”Haduh Ya Allah, aku jadi gemetar dengar pertanyaan itu, tapi inilah hidup, lahir, tumbuh dewasa, menikah, berkeluarga kemudian mati. Ga mungkin juga aku memilih hidup melajang selamanya, pastilah keluarga terutama orang tua akan geram kepadaku.Entah wajahku terlihat nervous atau tidak, tapi dengan sedikit senyum takut ku katakan padanya kalau aku masih belum suci dari haid.“aku masih belum suci dari haid mas…”“Ehmm… mas cuma tanya kok. Mas capek banget, adek juga pasti capek kan? (ia beranjak dari ranjang dan menghampiriku yang tengah duduk di depan cermin) Mas tidur duluan, kalau bersihin make up ga usah lama-lama tetep cantik kok, baca ini dulu ya sebelum tidur sayang” (hmmm… dia kecup ubun-ubun kepalaku setelah menyodorkan amplop putih yang bertuliskan “Untuk Istriku tercinta”).

Pukul 11.48Akhirnya selesai sudah membersihkan diri, kurebahkan punggungku di atas bantal dengan posisi yang sedikit terduduk, ku lihat amplop itu, kemudian ku lihat wajah mas rahmat yang tengah tidur pulas disampingku, ku buka dengan sedikit gemetar, jantungkupun berdegup kencang, batinku berkata tumben-tumbennya duda ini jadi romantis, pakai panggil-panggil dek segala, ada sayangnya lagi. Kubuka dengan perlahan dan mulai ku baca satu demi satu kalimatanya.

“Surabaya, 20 Januari 2003,Bismillahirrahmanirrahim, Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKu tulis surat ini ketika kau masih menjadi calon istriku, dan insya Allah ketika kau baca, kau telah sah sebagai istrikuBesok jum’at pagi, kan ku ucapkan ikrar suci itu untuk kedua kalinya. Kepada mu Inayah Maghfirah, aku menaruh banyak harapan untuk masa depan kita kelak.Meski engkau bukan yang pertama untukku, tapi aku sangat berharap kau menjadi yang terakhir hingga ajal menjemputku nantinya. Menjadi seseorang yang akan terus setia disampingku dalam setiap tawa dan tangisku.

Perkenalan kita di rumah yanti 6 bulan lalu, membuatku menaruh rasa suka kepada mu. Aku juga tak tahu pasti, apa engkau benar-benar mempunyai rasa yang sama denganku atau hanya sekedar kasihan kepadaku. Entahlah… Yang pasti aku masih ingat betul kalimat yang pernah kau kirimkan lewat sms, ketika minggu 26 November 2002, ku minta kau untuk menikah denganku
“aku akan menikah dengan mu karena aku mencintai Nya”.

Ada rasa senang bercampur bingung, kenapa “karena aku mencintai Nya?” bukankah seharusnya “karena aku mencintaimu mas…?”Jujur, sms mu saat itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Aku berfikir, mungkinkah aku menikah dengan seorang wanita tanpa cinta? Sekasar dan sebrutalnya aku, tak pernah sedikitpun ada keinginan untuk memaksa seorang wanita menikah denganku.Namun sedikit demi sedikit aku mulai mengerti apa yang kau maksud Nay, maka dari itu aku tak pernah ingin mengurungkan niatku untuk menikahimu, kecuali jika engkau yang menolak. Bukan karena aku tak tahu diri dengan status dudaku, tapi karena aku yakin, bersamamu… cintaku kepada Nya akan dapat lebih dalam lagi.

Nay… aku bukanlah laki-laki yang bisa lembut kepada wanita, tapi aku akan berusaha untuk menjadi lembut kepadamu, aku juga tidak sebegitu paham dengan agama yang aku anut, tapi aku akan berusaha untuk memahami agamaku, agar kehidupan rumah tangga kita lebih baik kedepannya, aku juga tidak begitu mengerti tentang mencintai Nya, tapi aku akan berusaha mencintai Nya lebih dari apapun, bukan karena mu tapi “karena memang aku ingin lebih mencintai Nya lagi”Inayah Maghfirah, kamu mau kan, mendekat kepada Nya bersama-sama denganku? Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alamAkhirnya lega juga, twlah ku tuliskan segala yang mengganjal di hati selama 2 bulan, setelah kau kirimkan sms itu.Semoga setelah kau baca suratku ini, tak ada lagi rasa ragu yang menyelimuti hati mu untuk menjadi teman hidup terbaikku. Kau tak perlu berusaha untuk memaksakan diri mencintaiku, karena dengan semakin cintanya engkau kepada Dia Sang Maha Berkuasa, sudah pasti ada cinta di hatimu untukku.

Lewat rumah tangga yang mulai kita bina ini, kita sama-sama berusaha untuk lebih mencintai Nya lagi ya sayang… hehehe. Maaf kalau ada kata-kata yang terkesan berlebihan, sssst… aku ga bisa romantis “DEK”, untuk mengatakan semua ini secara langsung saja aku tak punya nyali, makanya aku pilih media surat. Terkesan jadul sich, tapi ga apalah dari pada sms, jempol mas pegel hehehe…
Semoga kejujuran ini menjadi salah satu jalan untuk kebaikan kehidupan baru kita amin.
Yang kini menjadi teman hidupmu
Muhammad Rahmad

Kututup kertas surat itu dengan membasahinya, seperti biasa wanita tak pernah luput dari air mata. Ada haru bercampur bahagia setelah ku membacanya, sisi baik dari pribadiku mulai up kembali. Jika dia sudah percaya diri seperti itu kenapa aku harus ragu?Tak ada lagi yang perlu aku khawatirkan, memang itulah dia, mas rahmad tak pernah menjadi orang lain, dia menjadi dirinya sendiri, dan aku tak perlu menuntutnya untuk menjadi orang lain. Yang pasti kita punya misi dan visi yang sama dalam pernikahan baru kita ini, karena kita sama-sama ingin lebih mencintai Nya.Kuletakkan surat itu di atas meja, matakupun mulai merasa kelelahan. Sebelum ku pejamkan mata, ku kecup kening suamiku sambil ku bisikkan kata “aku mencintaimu mas..”

Pernikahan seharusnya mendatangkan kebaikan, bukanlah sebuah keraguan. Jika dengan menikah, membuatku semakin mudah untuk dekat kepada Nya, kenapa aku harus ragu?
Heningnya malam semakin hening, saat denting jam dinding seolah mengalun tanpa nada. Hembusan angin meniup sejuk, merayap membangunkan sosok wanita yang terbaring pulas. Mila.

“Subhaanallah”, ucap Mila. Kemudian mengambil wudhu dan segera mengerjakan shalat malam.Dengan kusyuk ia manghadap Allah, berdoa dan memohon kepada-Nya. Menetes air mata seketika dari celah-celah mata yang penuh dengan harap. Berkali-kali ia memohon ampun, meminta petunjuk serta hidayah dari-Nya.

“Ya Allah Yang Maha Pengampun, sudikah kiranya Engkau mengampuni segala dosa yang telah ku buat? Berkali-kali hamba mendustai-Mu, mengingkari-Mu, juga berpaling dari-Mu. Hamba hanyalah kecil di hadapan-Mu. Bahkan sekalipun hamba beribu kali memohon ampun, tak lantas cukup untuk menebus segala dosa hamba. Hanya saja hamba yakin bahwa Engkau menyayangi hamba-Mu tanpa terkecuali. Hamba bukan hanya kecil ya Rabb, tapi juga lemah. Hamba tak berdaya tanpa-Mu. Apa yang hamba lakukan rasanya percuma jika tanpa ridha dari-Mu. Ya Allah Yang Maha Penentu Takdir, tempatkanlah hamba dalam ruang yang penuh oleh cahaya-Mu. Jika hamba jatuh cinta, maka jangan biarkan hamba mencintai makhluk melebihi hamba mencintai-Mu. Takdirkanlah hamba dengan jodoh yang benar-benar Engkau pilih. Yang mampu membawa rumah tangga kami ke dalam bahagia dunia maupun akhirat nanti. Aamiin.”

Keesokan harinya pertemuan dirinya dengan Ramlan pilihan kedua orang tuanya berlangsung. Ini adalah kali pertama Mila menjalani ta’aruf. Setelah menyambut kedatngan Ramlan dan keluarga, Mila bergegas ke dapur untuk menyiapkan jamuan, kemudian disusul sang ibu.

“Gimana Ndok? Kamu cocok?” tanya ibu.“Apapun dan siapapun pilihan ibu dan ayah, cocok cocok saja. Tapi jika ditanya benar-benar cocok atau tidak, Mila belum tahu”, ucapnya

Sambil tersenyum.“Ya sudah ayo jangan lama-lama di dapur!”“Iya Bu.”
Beberapa saat kemudian Milapun menuju ke ruang tamu dengan membawa makanan dan minuman yang telah ia siapkan untuk menjamu Ramlan dan keluarga.

“Subhanallah cantik dan anggun sekali kamu Ndok!” ucap Umi Aminah (Ibunda Ramlan) kepada Mila.“Terima kasih Umi”, jawab Mila dengan ramah, “Silahkan diminum!” lanjut Mila.
Ramlan yang datang dengan ibu dan pamannya terlihat gugup. Sang paman yang mewakili mendiang ayahnya menyampaikan maksud dari kedatangan mereka kepada keluarga Mila.
“Nak Mila, perkenalkan ini Ramlan. Ramlan, ini Mila. Walaupun Ramlan sebelumnya tidak pernah bertemu dan mengenal nak Mila. Tapi dengan niat karena Allah, kami datang ke hadapan keluarga Pak Imran, selain semata-mata ingin bersilaturahim juga bermaksud untuk melamar Nak Mila. Sudikah kiranya Bapak dan keluarga menerima lamaran kami terhadap putri Bapak?”“Keputusan ada di tangan Mila. Bagaimana Ndok?” ucap sang ayah kepada Mila.“Insya Allah, dengan niat ibadah kepada Allah, Mila menerima lamaran Mas Ramlan dan keluarga”, jawabnya.

Rona bahagia pun tampak seketika di wajah mereka. Terutama ayah dan ibu Mila, juga Umi Aminah. Umi Aminah kemudian memesangkan cincin pada jari manis Mila. Di susul ucapan “Alhamdulillah” dari mereka.

Satu minggu kemudian akad nikah dan pesta pernikahanpun berlangsung. Acara berlangsung dengan hikmat. Sanak saudara, kerabat dekat, majelis pengajian Umi Aminah, menghadiri acara tersebut dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Mempelai wanita tampak sangat cantik dengan terbalut gaun pengantin warna putih dan jilbab yang menutup aurat kepalanya. Serasi dengan mempelai pria yang juga berpakaian warna senada. Dalam hati Mila bergumam.
“Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah mempertemukan hamba dengan jodoh hamba. Dengan laki-laki soleh, baik, dan tampan yang saat ini sedang duduk di samping hamba. Atas ridha-Mu, hamba jatuh cinta pada-Nya. Setelah penantian yang panjang, kini Kau anugerahi hamba perasaan yang indah ini. Semoga keindahan dari rasa ini akan senantiasa membawa berkah, bukan sebaliknya. Puji syukur atas segala nikmat dan karunia-Mu ya Allah.”
Pada malam harinya, mereka ditempatkan pada ruang kamar yang sama. Kamar dimana mereka akan mengalami kisah dan merajut cinta di dalamnya.

“Sebaiknya kamu tidur dulu saja Mila! Aku belum mengantuk.”“Bukankah Mas juga capek?”“Iya, tapi aku belum ingin tidur.”“Ya sudah kalau begitu Mas berbaring saja dulu!”“Tidak Mil, kamu tidur saja dulu ya! Aku mau menghirup udara di luar”, Ramlan pun beranjak dari kamar.Sementara itu Mila tampak heran dengan sikap suaminya. Karena begitu lelah, Milapun akhirnya tertidur pulas. Keheranan Mila semakin besar saat mendapati suaminya hampir tiap malam tidak ingin tidur satu ranjang dengannya, melainkan di sofa.

Satu bulan kemudian Ramlan membeli rumah yang letaknya tidak jauh dari kediaman Umi Aminah.“Umi, kami pamit ya”, ucap Mila kepada Umi.“Iya Ndok, kalian hati-hati ya di sana. Maafkan Umi tidak bisamengantar. Insya Allah setelah pangajian selesai Umi sempatkan mampir.”“Iya Umi, tidak apa-apa. Umi hati-hati ya.”“Oh iya sebentar! Umi ada sesuatu untuk kalian.”Umi pun beranjak dan datang kembali dengan membawa bingkisan.“Terima kasih Umi!” ucap Mila.“Terima kasih Umi. Kalau begitu kami pamit ya”, ucap Ramlan.“Asalamualaikum Umi”, Mila berucap salam sambil mencium tangan Umi.“Waalaikumsalam”, jawab Umi.“Asalamualaikum Umi”, Ramlan mencium tangan ibunya.“Waalaikumsalam”, jawab Umi lagi.

Sesampainya di rumah baru mereka.“Alhamdulillah, akhirnya kita sudah tidak bergantung pada Umi lagi yaMas? Semoga di rumah ini, apa yang kita sama-sama kerjakan selalu dirahmati Allah SWT”, ucap Mila.“Aamiin. Oh iya Mila, ini kamar kamu.”“Loh?” Mila terkejut dan heran, “Kok kamar Mila Mas? Bukannya kamar kita berdua?” tukas Mila.“Tidak. Kamarku yang itu!” sambil menunjuk ke arah kamar depan kamar Mila.“Ada apa sih Mas sebetulnyaa? Tolong jelaskan! Jangan seperti ini!” lirih Mila.“Nanti akan ku jelaskan jika waktunya tepat ya. Lebih baik sekarang kamu shalat asar dulu! Tadi belum shalat asar kan?” Ramlan kemudian beranjak dari kamar Mila sambil mengucapkan, “Asalamualaikum.”“Waalaikumsalam”, jawab Mila lirih.
Hingga pada suatu malam, Mila mendapati suaminya sedang ingin melaksanakan shalat malam. Mila pun bergegas mengambil wudhu. Ramlan yang shalat di kamarnya tak manyadari, bahwa pintu kamarnya tidak ia tutup kembali sekembalinya ia dari wudhu. Sedangkan Mila yang baru saja selesai wudhu, sengaja membuka sedikit pintu kamarnya agar ia bisa menjadi makmum suaminya. Sementara Ramlan tak menyadari hal itu. Di sela-sela doa, terdengar isakkan tangis Ramlan yang begitu meluap. Sehingga membuat Mila ikut larut dalam isakkan itu. Ramlan berdoa di dalam hati.

“Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa hamba. Hamba bagai tak tahu diri. Hamba bak mengotori jiwa dan raga hamba sendiri dengan kebodohan hamba. Ya Allah tunjukkanlah jalan-Mu. Keputusan hamba untuk menikah bukanlah langkah hamba untuk berbuat dosa. Tapi karena hamba ingin berbakti kepada kedua orang tua hamba. Rasanya ilmu yang hamba miliki terbuang sia-sia, karena untuk menjadi imam keluarga saja hamba tidak bisa. Hamba tahu bagaimana tersiksanya istri hamba. Apa yang harus hamba lakukan Ya Allah? Hamba belum juga memberikannya nafkah bathin yang mungkin telah lama dia tunggu. Hamba tidak ingin terlalu larut menykiti hatinya yang lembut itu. Hamba telah keras mencintainya, hamba telah lama menunggu anugerah rasa itu dari-Mu untuk aku memberikannya kepada Mila, istri hamba. Tuntun hamba Ya Allah. Agar ibadahku selama ini tidak sia-sia. Agar hamba tidak tersesat dalam kelabu hati hamba. Ya Allah ajari hamba mencintai Mila. Mila yang baik, Mila yang soleha, yang pandai harusnya mendapatkan pasangan yang benar-benar bisa membahagiakannya. Amnpuni hamba Ya Allah, atas dusta hamba kepada orang-orang yang bahagia atas pernikahanku dengan Mila. Atas ingkarku kepada-Mu Ya Rabb, ampuni hamba. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, waqinaa ‘adzaa ban naar. Aamin Ya Robbal ‘alamin.”

Mila berdoa agar apa yang suaminya panjatkan, dikabulkan Allah SWT. Beningnya air mata turut membasahi pipinya. Yang ia harapkan ialah agar air mata yang suaminya teteskan bukanlah air mata duka yang disebabkan olehnya. Mila sangat mencintai Ramlan, sehingga ia selalu berusaha untuk tidak menyakiti Ramlan. Hatinya memang berkecamuk, tapi cinta suci yang ia miliki masih benar-benar tersimpan untuk sang suami. Lambat pagi seraya menyentakkan bathinnya. Bathin yang selama ini telah mengeram, semakin tenggelam.

“Sarapan dlu Mas!” ucapnya kepada Ramlan, lembut.“Iya, terima kasih”, jawab Ramlan.“Mas Ramlan sehat bukan?” tanyanya.“Alhamdulillah sehat.”“Lalu kenapa wajahmu pucat Mas?”“Tak usah merisaukanku Mila! Mungkin hanya karena kurang tidur saja.”Mila tersenyum.“Ada yang ingin ku katakan Mila”, seru Ramlan.“Apa itu Mas?”“Minggu depan aku bertugas ke luar kota”“Boleh Mila tahu, berapa lama?”“Delapan bulan Mil.”

Seketika itu juga Mila menangis. Setelah bathin yang menjerit sakit karena belum tersentuh kasih suaminya, kini Mila harus menerima kenyataan suaminya akan pergi dari pandangnya delapan bulan. Selama ini bathin yang terluka telah terobati dengan keindahan mata yang mampu menatap suami tercinta, keindahan itu tersapu kelu karena sang suami harus pergi untuk beberapa waktu.

“Kenapa kamu menangis Mil?”“Cukup berat beban bathin yang selama ini Mila pendam Mas! Tapi bebanitu hilang seketika saat Mila mendapatimu setiap pagi dan sepulangmu dari kerja. Untuk seorang istri tentunya berat melepaskan suaminya pergi, walau untuk beberapa saat saja. Mila bahagia bisa bersuamikan kamu, Mas. Sekalipun Mas belum pernah sedikitpun menyentuh Mila. Sekalipun Mila sering bertanya-tanya akan perasaan Mas terhadap Mila. Tapi Mila selalu yakin bahwa Mas mencintai Mila. Entah apa yang sebenarnya kau rencanakan Mas. Mila hanya ingin selalu berada di sisimu. Mila tidak sanggup menahan sakitnya bathin yang belum kau nafkahi dan kini Mila harus menanggungnya sendiri. Mila sudah terlalu sering mendustai Ibu, Ayah, dan Umi. Memang Mila bahagia, tapi bahagia yang seperti ini tak sedikitpun Mila harapkan. Jika pernikahan ini hanya melukain hatimu Mas, kenapa tak kau sudahi saja? Mila hanya ingin kita sama-sama bahagia”, ucap Mila dalam isak.“Maafkan aku Mil. Aku tak bermaksud melukaimu. Hanya saja cinta yang selama ini ku tunggu belum juga hadir untukmu. Aku memang telah melukaimu juga melukai kedua orang tua kita. Aku sudah berusaha keras untuk bisa mencintaimu. Tapi… entahlah Mil, aku bingung. Aku tidak ingin mengecewakan Umi dan mendiang Abi.”“Mas, kamu itu suamiku. Seorang suami bukan hanya berkewajiban untuk mencintai istri. Tapi juga berkewajiban untuk menafkahi istrinya lahir dan bathin. Beban apa yang memberatkanmu? Katakanlah! Aku berhak tahu, kita bisa selesaikan bersama. Tidak seperti ini. Yang akhirnya semakin memberatkan salah satu di antara kita. Ayo kita bawa rumah tangga ini ke jalan-Nya.”“Aku tidak bisa memberiknmu nafkah bathin, karena aku takut melukaimu Mila.”“Melukaiku? Maksud Mas apa?”“Aku takut, aku melakukannya hanya karena nafsu semata, bukan atas dasar cinta.”“Kalau begitu lakukanlah dengan niat karena Allah. Mas, semua sudah menanyakan kehamilanku.”“Maafkan aku Mila.”

Mila beranjak dengan kesedihan yang amat dalam. Di benaknya hanya kosong. Ia benar-benar tidak ingin suaminya pergi. Di setiap doanya, ia selalu meminta agar rumah tangganya bahagia. Agar cinta yang selama ini bertepuk sebelah tangan segera terlangkapi. Senjanya seakan hilang entah kemana. Wanita solaha itu kini benar-benar tiada daya. Pasrah dan iba selalu ia pasrahkan pada-Nya.

Tiga hari kemudian, malam yang cerah dengan keindahan bulan dan bintang. Bak terpercik tetes embun di gunung Sahara, hati Mila dipenuhi kesejukan. Bagaimana tidak, peluh penantian telah tertambatkan. Malam itu menjadi saksi peraduan cintanya dengan sang suami. Subhanallah.

Pernikahan adalah komitmen seumur hidup untuk mencintai seseorang meskipun mereka tidak layak dicintai, memaafkan seseorang meskipun mereka mungkin tidak layak dimaafkan, untuk menghormati seseorang bahkan ketika mereka berada dalam kondisi yang paling buruk dan untuk tidak pernah menyerah terhadap satu sama lain.

Tepat pada dua hari sesudahnya, Mila harus merelakan kepergian suaminya bertugas ke luar kota. “Hati-hati ya Mas. Kalau ada waktu luang, Mila mohon sempatkan untuk memberi kabar. Doakan Mila agar Mila di sini kuat dan tabah tanpamu Mas”, ucapnya lantas tersenyum.“Insya Allah Mila. Jangan lupa mendoakanku ya. Semoga sepulangku nanti, aku bisa memperbaiki keadaan kita. Selain urusan pekerjaan, akan ku jadikan perjalananku nanti sebagai waktu untuk aku merenung. Aku pamit ya, asalamualaikum.”“Waalaikumsalam”, jawab Mila sambil mencium tangan Ramlan.

Pagi itu ia tetap mempertahankan senyum simpul yang terpahat disudut bibirnya. Ia tak ingin menampakkan kesedihan pada sang suami. Hatinya memang diburui kehancuran, tapi ia pun tak ingin menjadi egois. Ia tau kepergian suaminya di jalan yang baik. Untaian doa dan kasih sayang senantiasa ia curahkan untuk sang suami. Cintanya mengikis sakit yang diembannya. Cinta yang hanya sebelah tangan bertepuk, setidaknya telah sedikit merajuk. Malam indah yang telah lalu, menjadi saksi bisu kebersamaan mereka di persinggahan cinta.

“Ya Allah, dalam derai air mata ini hamba mohon perbaiki iman dan akhlak hamba. Teguhkan setiap langkah hamba untuk mencari ridha-Mu. Dalam setiap rintihan taubatku, hamba mohon ampuni segala dosa-dosa hamba. Lindungilah suami hamba dalam setiap langkah dan tuturnya Ya Rabb.”

Suatu pagi ia merasakan mual yang teramat kuat. Sehingga mengharuskannya memeriksakan diri ke Dokter.

“Selamat ya Bu Mila. Anda tengah hamil. Usia kehamilan Anda hampir sudah mencapai satu bulan”, ucap Dokter kepada Mila.“Alhamdulillah. Jadi saya tidak sakit Dok?”“Tidak, yang penting Bu Mila banyak-banyak istirahat ya! Serta menjaga pola makan yang baik, agar Bu Mila tetap sehat dan janin yang di kandung pun ikut sehat.”“Baik Dok. Terimakasih! Kalau begitu saya permisi. Asalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”

Mila beranjak dengan sumringah. Mimpinya untuk menjadi seorang ibu akan terwujud. Ucap syukur tak henti-hentinya ia panjatkan. Setelah kehamilannya mencapai empat bulan, ia memberitahukan kabar bahagia itu kepada orang tua dan mertuanya. Hanya saja sangat disayangkan ia belum bisa mengabari sang suami. Sampai saat ini belum juga ada kabar dari Ramlan. Ia menunggu Ramlanlah yang terlebih dahulu menghubunginya. Ia tak ingin mengganggu suaminya, sehingga ia pun berkeras untuk menunggu telepon dari sang suami.Rindu yang berkalut semakin membuatnya berada dalam sudut. Sudut jiwa yang seolah tanpa nyawa. Dalam simpuh ia kembali mengadu.

“Ya Allah Yang Maha Pengasih, dalam lemah aku menengadah. Berharap Kau Sang Maha Pemberi Hidup memberikan kami umur yang panjang. Agar kami memiliki kesempatan untuk memperbaiki hilaf kami. Ampuni dosa-dosa kami Ya Rabb. Sampaikan rindu ini menyentuh hatinya, siratkan kasih hamba membelai kalbunya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai wanita terbaik di hatinya setelah ibunya, dan jadikanlah aku ibu yang terbaik untuk anak ku di hatinya. Pada-Mu aku mengadu, lindungilah kami di bawah naungan-Mu. Aamiin”

Setelah shalat, Mila beranjak ke tempat tidur. Namun raga yang ia baringkan, tak kunjung terlelap. Hatinya terus digedor-gedor pucuk rindu. Tergelantung asa dalam relung. Lantas ia mengambil secarik kertas. Jemarinya yang lentik begitu lihai menari dengan pena yang menggores kertas putih.

Untuk Mas Ramlan yang Mila cintai.Asalamualaikum.Wr.Wb,dengan rindu dan ketulusan kasih Mila kepada Mas Ramlan, Mila ajak pena ini mengisi kekosongan hati Mila. Untuk sekedar mencurahkan segala apa yang Mila pendam dalam. Mas Ramlan di sana apa kabar? Mila sungguh merindukanmu Mas. Ada banyak hal yang bisa Mila sesali, tapi lebih banyak hal yang bisa Mila syukuri di sini. Ada banyak hal yang tak sesuai dengan keinginan Mila, mungkin Allah ingin Mila lebih banyak menengadahkan tangan. Mila belum sepat mengabarimu kalau Mila sekarang sedang mengandung. Maafkan Mila. Bukannya Mila tidak ingin memberitahumu, tapi Mila tidak ingin mengganggu konsentrasi kerjamu Mas. Hati Mila sungguh berbunga-bunga ketika Mila tahu bahwa Mila sedang mengandung. Mila tidak merasa begitu kesepian lagi. Setidaknya ada anak kita yang menemani Mila. Walaupun dia belum terlahir di dunia, tapi Mila sudah merasakan kehadirannya. Mila sungguh bahagia Mas. Dua minggu lagi tepat 7 bulan usia kandungan Mila. Tidak terasa ya Mas? Sudah 7 bulan juga kamu meningalkanku. Mila tidak sabar menunggu satu bulan lagi, untuk bisa melihatmu lagi Mas. Rencananya, Ayah, Ibu, dan Umi akan mengadakan syukuran tujuh bulan kehamilan Mila. Alangkah lebih bahagianya Mila jika Mas juga ada di sisi Mila. Tapi sekali lagi Allah menginginkan Mila lebih banyak bersabar. Doakan saja ya Mas, agar acara berjalan lancar doakan juga semoga anak kita kelak menjadi anak yang soleh, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Mila sungguh mencintaimu Mas.

Bagai mimpi yang panjang, ingin sekali Mila mendengarmu mengucapkan kata-kata itu padaku. Sekalipun hanya sekali saja seumur hidup Mila Mas mengucapkannya, sudah cukup membuat hati Mila teduh seteduh-teduhnya. Aku benar-benar mencintaimu Mas. Begitu indah anugerah ini yang Dia beri untuk Mila. Sehingga Mila akan menjaganya hingga akhir hayat Mila. Bahkan ingin sekali Mila abadikan rasa ini hingga ke Surga. Insya Allah. Mila rasa sudah cukup Mila mengukir lembar kertas ini. Ingin sekali rasanya saat ini juga sejenak berlabuh di bahumu.
Semoga rindu ini tersampaikan padamu. Mila pamit Mas.Wassalamualaikum.Wr.Wb.Istri yang mencintaimu, yang lemah tiada daya,Mila

Milapun melipat secarik kertas itu kemudian menyimpannya di laci samping tempat tidurnya.
Tepat delapan bulan sudah Ramlan di luar kota. “Alhamdulillah. Akhirnya hari ini aku aku bisa kembali menemui istri dan keluargaku. Rasanya bagai terkurung dalam penjara. Mila, maafkan aku tidak sempat menghubungimu. Tapi hari ini aku janji akan meneleponmu, aku janji Mila”, gumam Ramlan.

Dengan semangat Ramlan mengambil ponsel yang selama ini ditahan perusahaan, karena selama bekerja semua karyawan benar-benar tidak boleh memegang alat komunikasi apapun. Akan tetapi berkali-kali Ramlan menelepon istrinya, tidak satu kalipun ada jawaban.

“Mila, tolong angkat teleponku!” ucapnya tampak cemas, “Ah mungkin Mila tidak di rumah dan lupa membawa ponselnya. Lebih baik sekarang aku kemas-kemas. Aku sudah tidak sabar berjumpa dengannya”, gumam Ramlan lagi. Ramlan pun menyempatkan diri membeli camilan kesukaan Mila sebagai buah tangan.

Sesampainya di rumah,
“Asalamualaikum!”
Berkali-kali Ramlan mengucap salam namun tidak ada satu kalipun jawaban salam dari Mila. Dia melihat ke seluruh ruangan tak juga ia dapati keberadaan sang istri. Lalu ia beranjak ke kamar Mila. Melihat-lihat keadaan di dalamnya. Ya, sepi! Sepi dan senyap. Sampai akhirnya ia menemukan secarik kertas yang dipenuhi tulisan Mila dalam laci. Ramlan tiba-tiba tenggelam dalam isak saat membaca tulisan itu. Berkali-kali ia mengucap istighfar dan maaf kepada Mila.
“Astaghfirullahaladzim. Maafkan aku Mila, maafkan aku! Aku berjanji mulai detik ini aku tidak akan lagi menyia-nyiakan cintamu. Maafkan aku Mila! Kamu di mana?” Ramlan larut dalam sedu, kemudian bergegas menghubungi orang tua Mila. Dari orang tua Mila, ia mendengar kabar bahwa istrinya sedang terbaring di rumah sakit dan akan melahirkan. Ramlan segera beranjak ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit.
“Asalamualaikum”, salam Ramlam.“Waalaikumsalam”, jawab Ayah, Ibu, dan Umi bersamaan.“Bagaimana keadaan Mila?” tanyanya.Tiba-tiba keluarlah Dokter dari ruangan.“Selamat! Bayinya laki-laki”, ucap Dokter.“Alhamdulillah”, kata mereka serentak.“Sebaiknya jika ingin mengadzankan, sekarang saja! Bayinya sedang dibersihkan, lalu akan segera dibawa ke inkubator, karena bayi lahir prematur.”“Lalu bagaimana keadaan istri saya Dok?”“Keadaan Bu Mila sangat lemah. Beliau mengalami pendarahan berat.”

Di wajah mereka terpancar suka dan kedukaan. Ramlan segera mengadzani sang bayi dan menghampiri Mila.

“Mila, kamu dengar aku? Aku pulang Mila. Sekarang aku ada di sisimu”, ucap Ramlan lirih.
Sementara Mila hanya bisa sayup membuka mata. Pandangannya lemah ke arah Ramlan. Sambil sesekali mencoba menegarkan diri dengan tersenyum.

“Mila, jangan kau khawatir dan bersedih. Sesungguhnya Allah jadi yang ketiga di antara kita berdua”, Ramlan menggenggam erat tangan Mila,“Janganlah berhenti bersabar Mila, sungguh Allah bersama yang bersabar. Allah tiada tidur dan senantiasa mendengar segala pinta. Ia mengabulkan doa-doamu selalu, maka banyaklah berdoa Mila! Aku di sampingmu. Aku sungguh mencintaimu”, Ramlan semakin tak bisa membendung air mata,“Mila, aku mencintaimu.”

Namun ternyata kata-kata itu benar-benar sekali saja Mila dengar. Allah begitu sayang kepadanya, sehingga Dia menginginkan Mila cepat-cepat kembali ke sisi-Nya. “Inalillaahiwainailaihiraji’un. Mila, aku mencintaimu”, ucap ramlan semakin mengisak.

Kedatangan tiada lepas dengan kepergian. Kutipan cinta Mila mengantarkannya hingga ke akhir senja. Suasana seketika menjadi kelam. Kesedihan begitu terpancar di wajah mereka. Mila yang lembut hati, yang solehah, yang cantik jelita, yang berwibawa, sabar dan ramah telah pergi dengan damai. Ia membawa dan meninggalkan cinta. Namun kepergiannya menggoreskan duka yang mendalam di hati yang mencintainya. Sepenggal kisah dari wanita sejati yang mengaja dan menanti cinta hingga akhir hayatnya. Subhanallah. Tidak ada yang sempurna. Jika seseorang mengerti dan mencintai kita apa adanya, mengerti dan cintailah ia seperti sebaliknya karena kita dan dia pantas bersama. Jangan mengumpat dari seseorang yang sedang menunjukkan arti cinta, karena kita akan menyesal dan merasa kehilangan ketika ia pergi meninggalkan kita