Air peluh itu menetes dari dahi seorang wanita berusia sekitar empatpuluh enam tahun. Dengan penuh rasa semangat, dia melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Membersihkan rumah, memasak—semua itu dilakukan hanya karena untuk menyambut kedatangan sang suami terkasih.
Ya, wanita itu adalah mamaku. Mama yang telah susah payah melahirkanku, yang telah memelihara dan merawatku hingga sebesar ini, mendidikku dengan baik. Mama yang tak pernah mengeluh dan selalu bijaksana dalam menghadapi setiap masalah dalam kehidupannya.
Aku memperhatikan mama yang sedang memasak di dapur. Terkadang, hatiku merasa terharu melihat pengorbanan mama kepada keluarga selama ini—terutama kepada papa—suaminya. Namun sayangnya, papa sama sekali tidak pernah menghargai pengorbanan mama tersebut.
Kulangkahkan kaki secara perlahan mendekati mama yang saat itu tengah sibuk memasak—lalu aku memeluknya dari belakang. Mama terperanjat kaget akan kehadiranku yang tiba-tiba itu.
“Ira, bikin kaget saja,” celetuk mama kaget. “Baru datang, Nak?,” tanyanya kemudian.
“Udah, Ma, barusan,” jawabku seraya mencium tangan mama sebagai tanda hormatku—dan mama mencium kedua pipiku dengan hangat.
“Bagaimana sekolah hari ini?”
“Seperti biasa, Ma. Matematika membuatku pusing…”
Mama tertawa. “Tapi kamu harus tetap rajin belajar, biar ujian kamu lancar nanti.” Suaranya yang khas sebagai seorang ibu membawakan ketenangan dalam hatiku.
Aku tersenyum. “Masak apa, Ma?”
“Oh, ini, mama masak sayur lodeh kesukaan papa kamu. Dia pulang malam ini,” jawab mama sambil melanjutkan aktivitas memasaknya.
Aku mengerenyitkan alis. “Memangnya papa pulang hari ini, Ma?”
“Bilangnya sih begitu, maka dari itu mama kerja keras bersihin rumah sama masak, deh.”
Aku terdiam. Memangnya benar papa akan pulang hari ini? Aku sangat ragu saat itu. Aku rasa papa nggak mungkin pulang, karena dia memang jarang di rumah. Dari hari Senin kemarin hingga hari Jumat saat ini—papa bilang bahwa ada banyak urusan di kantor—namun aku kurang yakin akan hal itu.
“Tapi, Ma, apa Mama…”
“Kita positive thinking saja, Nak,” potong mama sebelum aku selesai melanjutkan perkataanku. “Mama tahu papa seperti apa, mama sangat tahu itu. Tapi, apa salah kalau kita mempersiapkan diri untuk kepulangan papa?”
“Tapi, Ma…” Aku berhenti saat melihat kedua mata bulat mama yang penuh dengan sinar keyakinan dan harapan seketika itu. Aku tidak ingin membuat mama terluka, sekalipun itu harapannya yang terluka. Aku tidak ingin melihat airmata mama menetes lagi karena hal itu membuat hatiku merasa sakit sekali.
“Nak…?”
“Eh, iya, Ma…”
“Tapi apa?”
Aku tersenyum. “Nggak, Ma, nggak apa-apa,” telakku.
“Oh iya, Ma, sini Ira bantuin masaknya, ya?” Aku melihat beberapa irisan tempe mentah yang belum digoreng. “Ini Ira yang goreng, Ma, ya…”
“Kamu nggak istirahat dulu, Nak? Kan kamu capek baru pulang sekolah, mandi dulu sana.”
“Nggak apa-apa, Ma, lebih capek Mama dari pagi tadi kerja sendiri. Adik nggak mau bantuin juga.” Aku menuangkan minyak goreng secukupnya di atas penggorengan.
Mama tersenyum menatapku. Dengan perlahan, dia mendekatiku—kemudian mengecup keningku dengan penuh kasih sayang.
“Mama sayang sama kamu, Nak…,” ucapnya dengan lembut. “Mama sayang kalian semua, Anak-anakku.”
# # # #
Jika ada yang bertanya kepadaku—siapakah orang terhebat dalam hidupku—pastinya satu jawabanku—“Mama”.
Ya, mama adalah orang yang sangat hebat yang pernah ada dalam hidupku. Mama seorang wanita yang kuat dan sabar. Kesabarannya sangat melebihi batas normal kesabaran wanita pada umumnya—terutama untuk seorang istri—kesabaran mamaku luar biasa besarnya. Entah terbuat dari apa hati mamaku itu sehingga beliau bisa menjadi kuat dalam menghadapi masalah apapun. Wanita lain belum tentu menjadi sekuat dan sesabar mama jika mereka melihat suami mereka sedang “terbelenggu cinta” oleh pihak ketiga—bahkan sampai tepat di depan mata—aku rasa mereka tidak akan sekuat mama dalam menahan emosi.
Sebenarnya jika kalian menelusuri lebih ke dalam hati mamaku, kalian akan tahu dan mengerti bahwa mamaku juga hanyalah seorang wanita biasa, yang mempunyai rasa sakit dan kecewa jika dilukai hatinya. Namun, mama tetap bertahan menghadapi semua itu. Beliau tidak ingin nampak lemah di depan papa, meskipun terkadang sering juga mama menitikkan airmata tiap kali menumpahkan uneg-unegnya tentang papa kepadaku.
Dan hatiku kerap kali merasa sakit saat melihat airmata mama terjatuh.
# # # #
Nada tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang membaca buku pelajaran di ruang tamu. Adik perempuanku yang satu ini masih duduk di bangku kelas satu SMP ketika aku masih duduk di bangku akhir SMA.
“Ada apa, Dik?”
“Mbak, mama nangis tuh, di kamarnya!”
Aku terperanjat. Buku yang aku pegang tadinya, jatuh di atas lantai.
“Hah?! Kenapa sama mama?,” tanyaku sedikit cemas.
Nada mengangkat bahu. “Nggak tahu, Mbak. Tadi kayaknya abis nerima telepon, mama langsung nangis gitu.”
Aku pun langsung berlari menuju kamar mama. Ternyata benar, mama sedang tersimpuh di samping tempat tidurnya sambil terisak keras. Jarang sekali aku melihat isakan tangis mama yang sebegitu keras dan histerisnya.
Aku berjalan menghampiri mama. “Ada apa, Ma? Mama kenapa?,” tanyaku semakin cemas. Isakan mama semakin menjadi. Kemudian beliau memelukku dengan erat.
“Papa kamu, Nak…,” jawab mama sedikit kurang lancar. Nafasnya masih tersengal-sengal akibat dari isakan tangisnya.
“Papa kenapa, Ma?,” tanyaku penasaran. Perasaanku mulai tidak enak.
“Dia…” Mama menundukkan kepala. Airmata itu terus menetes membasahi lantai kamar.
“Jahat sekali papamu itu… Mama hubungi nggak bisa… Telepon nggak diangkat, pesan nggak dibalas…,” cerita mama sedikit terbata-bata. Aku mengelus-elus bahu mama, berusaha untuk menenangkannya.
“Katanya hari ini dia pulang, mana? Dasar pembohong!!!,” jerit mama semakin histeris. Aku sangat takut sekali melihat keadaan mama seperti itu, tapi aku masih berusaha menenangkannya dalam pelukanku.
“Sabar, Ma, tenang… Apa perlu Ira yang telepon papa?”
Mama masih terisak. Aku mengerti. Kemudian aku menyuruh Nada untuk mengambil handphoneku yang tergeletak di atas meja ruang tamu.
“Ini, Mbak.”
“Thanks.”
Aku segera memasuki daftar buku telepon dalam handphoneku itu untuk mencari nomor telepon papa. Beberapa detik kemudian, aku berusaha menghubungi papa.
“Dik, tolong jagain mama,” pintaku kepada Nada. Adikku itu hanya mengangguk. Aku sedikit menjauh dari kamar mama untuk menelepon papa.
Sekali aku telepon, tidak ada jawaban Aku telepon lagi, masih tetap tidak ada jawaban. Aku telepon terus, hasilnya pun sama saja. Aku mulai merasa jengkel dalam hati. Akhirnya aku mengirim pesan kepada papa.
“Papa ada dmn? Katanya plg? Kok gak ada balasan telp? Mama nungguin Papa tuh, tp Papa kyk gak peduli!”
Pesan terkirim. Aku segera kembali ke kamar untuk melihat keadaan mama—dan, syukurlah, mama sudah kelihatan agak tenang—meskipun isakan tangisnya masih sedikit terdengar.
“Mama…,” kataku sambil mendekati mama pelan-pelan. “Maafin Ira, Ma. Ira berusaha menghubungi papa tapi juga nggak ada jawaban.”
Kedua mata mama yang basah dan sembab, menatap tajam ke arah luar pintu kamarnya.
“Biarkan saja, Nak, papa kamu berkelakuan seperti itu kepada mama, kepada kita. Mama tahu, papamu sekarang nggak lagi di kantor. Mama sangat yakin, pasti dia sekarang ada di rumah wanita itu,” ujar mama dengan suara tertahan karena emosi.
Aku hanya diam, membiarkan mama mengeluarkan uneg-unegnya terlebih dahulu, dan aku memperhatikannya dengan seksama
“Papamu memang benar-benar keterlaluan! Dia nggak pernah melihat pengorbanan mama sampai sejauh ini, dia nggak pernah tahu dan nggak mau tahu bagaimana keadaan keluarganya di rumah selama ini. Papamu itu, dia hanya mementingkan diri sendiri saja!” Mata mama menyorot emosi saat menumpahkan uneg-unegnya itu.
“Iya, Ma, Ira tahu…”
“Dia itu! Mama jengkel sama dia! Mana pernah papamu menyerahkan keuangan sepenuhnya kepada mama? Sama sekali nggak! Ngasih uang buat kebutuhan keluarga seperti ngasih uang saku buat anak sekolah! Papamu nggak pernah tahu kesulitan kita di rumah, dia nggak pernah tahu! Yang dia tahu hanyalah dunia luar bersama wanita-wanitanya itu!!!” Airmata mama meledak kembali, mengalir membanjiri wajahnya.
Aku merasa sedih sekali melihat keadaan keluargaku yang seperti ini—terutama melihat keadaan mama jika sedang tersakiti. Ingin rasanya aku membawa mama pergi dari rumah ini dan tinggal bersamaku. Ingin rasanya aku membahagiakan mama, membuat mama melupakan segala tentang kesedihannya selama beliau hidup bersama papa, tapi apalah daya, aku masih belum mampu untuk melakukannya. Aku masih duduk di bangku kelas tiga SMA dan tak dipungkiri juga bahwa aku masih membutuhkan bantuan orangtua—walaupun sebenarnya ingin sekali aku hidup mandiri.
“Mama, maafin Ira, ya… Ira masih belum bisa berbuat apa-apa untuk membantu ekonomi keluarga. Ira merasa sangat sedih melihat keadaan kelurga kita seperti ini. Maafin Ira, Ma…”
Tanpa terasa airmataku menetes. Mama memelukku dengan hangat, kemudian membelai rembut ikal panjangku dengan penuh kasih sayang.
“Jangan begitu, Nak. Justru mama yang minta maaf kepada kalian karena selama ini sebagai orangtua, mama belum bisa membahagiakan kalian, Anak-anakku. Mama sangat sayang kalian…”
Aku semakin menangis mendengar ucapan mama tersebut. Bukan Mama yang harus minta maaf, tapi aku, Ma. Aku sebagai seorang anak belum bisa membalas kasih sayang dan pengorbanan Mama selama ini.
Mama melihat adikku duduk di sampingnya. Tangannya yang lembut itu juga memeluk adikku dengan hangat. Adikku yang sedari tadi hanya diam memperhatikan keadaan kami—kini menjatuhkan airmata juga.
“Maafin Nada juga ya, Ma… Nada selama ini bikin Mama jengkel, bikin Mama marah. Nada hanya menyusahkan Mama saja. Maafin Nada, Ma…,” ucapnya semakin menangis—sama sepertiku.
Senyuman mama mengembang secara perlahan disela-sela airmatanya “Sebenarnya mama udah nggak kuat menghadapi kelakuan papamu yang seperti itu…” Mama melepaskan pelukannya. Tatapannya yang lembut itu memasuki mata kami berdua.
“Jika mama mau, mama bisa saja minta cerai kepada papamu itu.”
Aku tertegun mendengar apa yang mama katakan barusan. Begitu juga dengan Nada—adikku.
“Tapi mama nggak akan pernah melakukannya karena kalian.”
“Karena kita, Ma?,” tanyaku heran.
“Iya. Mama akan tetap bertahan hidup dengan papa hanya demi kalian. Kamu dan Nada. Mama tahu, kalian masih butuh banyak biaya. Meskipun seperti itu, kalian masih membutuhkan papa untuk hidup kalian, dan mama harap kalian jangan sampai berani kepada papa, karena kalau nggak ada papa, nggak akan ada kalian, anak-anak mama yang sangat mama cintai.”
Mataku kembali berkaca-kaca. “Mama…”
“Memang mama belum mendapatkan kebahagiaan sama sekali sejak awal mama menikah dengan papa, hidup mama selalu sengsara. Namun, ada satu hal yang membuat mama bahagia menikah dengan papa, yaitu kalian, Anak-anakku. Kalianlah anugrah terindah yang diberikan papa kepada mama. Bukan emas, ataupun harta benda lainnya, hanya kalian. Dan mama sangat bahagia mepunyai anak-anak seperti kalian.
Airmataku semakin mengalir deras mendengar ucapan mama tersebut. Demikian juga dengan Nada. Perasaan bahagia, haru, bahkan sedih, bercampur-aduk menjadi satu dalam dada kami—hingga kami tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Mama harap kalian, terutama Ira, jangan sampai mengecewakan mama, ya…”
“Iya, Ma, terima kasih…”
Mama kembali mendekap kami dengan penuh kasih sayang—sementara kami masih tetap menangis dalam dekapannya.
# # # #
Aku telah berjanji dalam hati, aku akan membahagiakan mama semampuku. Mungkin belum untuk saat ini, tapi aku yakin, suatu saat nanti aku pasti akan bisa membahagiakannya.
# # # #
Tiga bulan sebelum aku menghadapi ujian nasional—aku semakin sibuk dengan sekolahku, dengan pelajaran tambahanku setiap sore setelah pulang sekolah, dan tentunya semakin sibuk dengan buku-buku pelajaranku. Sebenarnya aku merasa jenuh dan lelah, tapi aku tidak menyerah. Aku harus terus belajar agar aku bisa lulus dengan nilai baik dan tidak mengecewakan orangtua, terutama mama.
Namun, akhir-akhir ini suasana di rumah sedang tidak baik. Mama dan papa selalu berseteru—mempermasalahkan kelanjutanku setelah tamat sekolah ini. Papa ingin aku masuk ke dunia pramugari karena saat itu ada koneksi dari anak wanita simpanannya yang juga bekerja sebagai pramugari di salah satu maskapai penerbangan swasta. Memang, pramugari merupakan cita-citaku sejak masih SMP, tapi apakah dengan cara seperti ini? Dengan cara menerima bantuan belas kasihan dari wanita itu? Aku rasa, tidak.
Tanpa diduga, ternyata mama sependapat denganku juga. Mama tidak ingin aku menjadi pramugari bukan karena tidak suka, tapi karena mama tidak menyukai caranya. Sebenarnya mama lebih ingin aku kuliah jika memang ada dananya. Sementara papa tidak menyetujui hal itu.
Pusing kepalaku mendengarkan perdebatan tersebut. Saat itu aku memang sedang dilema—antara menerima tawaran dari papa atau tidak. Aku sendiri juga tidak ingin menyakiti hati mama, karena dengan aku menerima tawaran itu, berarti keluarga kami mempunyai hutang budi kepada wanita tersebut. Aku tidak ingin menambah beban hati mama yang telah tersakiti akan hal itu.
“Mama nggak ingin jauh dari kamu, Nak. Karena kalau sudah jadi pramugari, kamu nggak akan pulang selama kontrak ikatan kerja, apalagi kamu harus ke Jakarta. Maaf, Sayang, mama nggak bisa,” jawab mama ketika aku bertanya “Kenapa?”. Aku tahu, mama hanya menutupi alasan yang sebenarnya dariku—walaupun sebenarnya aku telah mengetahuinya.
“Iya, Mama, Ira ngerti…”
# # # #
Mama menatap wajahku dengan air muka serius. Sepertinya beliau ingin membicarakan sesuatu yang penting kepadaku. Aku hanya duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya.
“Ada apa, Ma,” tanyaku memberanikan diri.
“Ada yang ingin mama bicarakan sama kamu dan ini penting, jadi tolong dengarkan mama dengan seksama.”
Serius sekali. Aku hanya bisa mengangguk pelan—takut jika ada hal yang buruk menimpa kepadaku.
“Kemarin mama habis ditelepon sama nenekmu yang ada di Batam.” Mama terlihat sangat serius—membuatku semakin takut.
“Nenek bilang, kalau rumah yang ada di Surabaya udah terjual dan hasilnya udah dibagi,” ucapnya.
Aku menghela nafas lega. Aku kira ada sesuatu hal buruk yang terjadi, tapi ternyata hanya memberitahukan hal tersebut.
“Alhamdulillah, Ma. Jadi mama bisa nabung dong buat umroh nanti?”
Mama terdiam. Raut muka yang tadinya serius, kini berubah menjadi sayu. Aku jadi bingung dan heran melihatnya.
“Ma, ada apa?,” tanyaku.
Mama kembali menatapku dengan lembut. Beliau tersenyum kepadaku.
“Mama pending dulu umrohnya, Nak,” jawabnya begitu tenang.
“Kenapa begitu, Ma?” Aku mulai cemas. “Bukannya itu impian mama selama ini? Meskipun masih belum mampu untuk naik haji, tapi mama selalu berangan untuk pergi umroh. Sekarang ada kesempatan itu, kenapa malah dipending?”
Mama masih tetap bersikap tenang setelah mendengar pertanyaan-pertanyaanku itu. “Mama tahu, Nak. Tapi, bagaimanapun juga, tetap anak yang paling utama,” jawabnya penuh wibawa. Aku semakin bingung. Apa maksudnya?
Kemudian mama menjelaskan semuanya kepadaku. Rumah nenek—ibunya mama—yang ada di Surabaya telah laku terjual, itu berarti uang warisan mama telah keluar. Mama telah membicarakan ini kepada nenek, bahwa uang warisan bagian mama ingin digunakan untuk biaya kuliahku nanti setelah aku tamat SMA. Mama membujuk nenek agar beliau setuju dengan permintaan mama, dan alhamdulillah—nenek menyetujuinya.
Aku sangat sedih melihat pengorbanan mama yang satu ini. Mama rela mengorbankan keinginannya hanya demi masa depanku. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Saat itu, yang aku rasakan hanya sedih dan terharu. Aku berusaha membendung arimataku agar tidak jatuh, namun akhirnya jatuh juga. Aku menangis di depan mama.
“Kenapa begitu, Ma?,” tanyaku dengan suara lemas—bahkan hampir tak bersuara. Aku benar-benar tidak bisa membendung airmataku.
“Semua demi kamu, Nak, demi masa depan kamu. Umroh mama bisa dipending sampai nanti ada rejeki lagi.”
“Tapi, Ma, Ira bisa nggak kuliah dulu. Ira bisa bekerja setamat SMA nanti, kuliah bisa nanti, Ma.” Aku membenamkan wajahku ke dalam kedua telapak tanganku dan menangis di dalamnya.
Mama tersenyum. Tangannya yang lembut itu membuka kedua telapak tangan yang menutupi wajahku. Saat itu, wajahku benar-benar banjir oleh airmata.
“Jangan menangis, Sayang. Mama lakukan ini semua untuk masa depanmu nanti. Mama tidak suka kamu hanya lulusan SMA saja karena mama nggak mau kamu nanti menjadi seperti mama yang tidak bekerja dan hanya bergantung sama laki-laki saja. Pastinya kamu juga tidak ingin hidup seperti ini, bukan?,” jelas mama dengan sangat bijaksana. Aku menggeleng pelan sambil mengusap airmataku sendiri.
“Makanya, kamu harus bekerja, tapi sebelum itu kamu harus kuliah terlebih dahulu agar kamu mendapatkan pekerjaan yang layak.”
Aduh, airmataku masih belum berhenti mengalir juga? Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Hanya menangis yang bisa kulakukan saat itu.
“Mama, Ira nggak tahu harus berbuat apa untuk Mama. Maafin ira, Ma, selama ini selalu merepotkan Mama, hingga sekarang pun Mama harus mengorbankan keinginan Mama untuk Ira. Sebenarnya Mama nggak perlu repot-repot untuk seperti itu. Maafin Ira yang belum bisa membahagiakan Mama,” ucapku panjang lebar.
Mama hanya tersenyum lembut mendengarku. Kemudian aku rasakan mama memelukku dengan penuh kasih sayang.
“Mama tidak minta apa-apa, Nak. Kebahagiaanmu juga merupakan kebahagiaan Mama. Tapi, mama hanya minta satu hal dari kamu, tolong jangan mengecewakan Mama, ya? Mama selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Kalaupun papamu merasa keberatan untuk membiayai kelanjutan pendidikanmu, nggak masalah, Nak, selalu ada mama yang mendukung kamu.”
Entah mengapa, mendengar ucapan mama barusan, airmataku tak kunjung berhenti juga—malah semakin mengalir deras. Aku merasa berdosa selama ini belum bisa membahagiakan mama. Rasa sedih dan haru bercampur jadi satu dalam dadaku.
Namun, rasa senang, bahagia, dan bangga juga melingkupi diriku. Aku senang mempunyai seorang ibu seperti mama. Aku merasa bangga dengan mamaku sendiri meskipun beliau hanya seorang ibu rumahtangga. Aku tidak akan malu dan takkan pernah malu untuk menyanding nama mama dalam dadaku.
Lihatlah, mamaku sangat cantik! Walaupun secara fisik nampak biasa saja, namun, telusurilah ke dalam hatinya—mamaku merupakan seorang wanita yang sangat istimewa. Seorang wanita yang sabar, setia, dan penuh pengorbanan.
Aku berjanji dalam hati kepadamu, Ma. Aku akan selalu membahagiakanmu dengan caraku sendiri. Aku akan membuatmu bangga, seperti aku bangga kepadamu, Mama. Hanya tunggu waktu, aku akan membawa kebahagiaan untukmu.
Mamaku tersayang…
-----
Source : Tulizanqu
0 comments:
Posting Komentar
Jiwa positif akan selalu tertanam pada diri kita semua :)