28 Jun 2015

Shalat Istikharah Ketika Ingin Memilih atau Telah Mantap pada Pilihan?


Dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajari kami shalat istikharah dalam setiap perkara /  urusan yang kami hadapai, sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang di antara kalianberniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. (HR. Al-Bukhari)
Para pembaca sekalian, hadits di atas merupakan hadits yang agung. Karena di dalamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengajarkan kepada umatnya apabila menemui suatu perkara / urusan, maka hendaknya melakukan shalat istikharah. Namun yang menjadi poin bahasan kali ini adalah dua hal saja, yaitu hanya pada tulisan yang diberi cetak lebih tebal dari yang lain.
Yang pertama, Nabi mengajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara / urusan. Jadi tidak benar ada anggapan bahwa shalat istikharah hanya dilakukan terbatas untuk urusan yang meragukannya, sehingga ia perlu melakukan shalat istikharah. Karena dalam bahasa Arab, kata كل memiliki arti setiap / semua.
Kedua, sebagian orang salah paham dalam melaksanakan shalat istikharah. Sebagian dari mereka melakukan shalat istikharah ketika dihadapkan kepada pilihan yang sulit atau meragukannya. Padahal ini kurang tepat, karena yang tepat adalah ketika seseorang telah mantap hatinya dengan keputusan yang ia ambil dalam urusan yang dihadapinya.
Kata هَمَّ (sebagaimana yang saya lihat dalam kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus) memiliki arti berniat. Karena sebagian orang mengartikannya dengan menghadapi, padahal jika diartikan demikian, maka shalat istikharah dilakukan sebelum hati mantap dengan keputusan. Padahal shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap dengan keputusan.
Apa hikmahnya ketika shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap? Jawaban yang saya dapatkan berasal dari penjelasan Al-Ustadz Aris Munandar dalam sesi tanya-jawab kajian rutin pagi. Beliau menuturkan jawaban dengan dua alasan.
  1. Jika seseorang telah mantap dengan suatu urusan, maka ia memohon kepada Allah, apabila urusannya tersebut baik dan diridhai oleh Allah, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mendapatkan perkara tersebut.
  2. Jika perkara tersebut tidaklah baik baginya, Allah akan datangkan penghalang dan pencegah baginya, sehingga ia akan dicegah untuk melaksanakan urusan tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

27 Jun 2015

Mengapa Kemaksiatan Tetap Ada di Bulan Ramadhan ?



Bahwa setan tidak ada di bulan Ramadhan, itu ucapan yang tidak benar. Riwayat yang ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa setan-setan di belenggu dan diikat pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1899), Muslim (1079), dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,  bahwa sesungguhnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

(إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ).

Apabila bulan Ramadhan tiba, pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu Neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu.

Al-Qurthubi mengatakan, “Jika ditanyakan bagaimana kok bisa kami melihat keburukan dan kemaksiatan banyak terjadi pada bulan Ramadhan, (padahal) kalau seandainya setan-setan itu dibelenggu (yaitu: dirantai) tentulah keburukan dan kemaksiatan itu tidak terjadi?


  • Bahwa kemampuan setan menggoda orang-orang yang berpuasa -jika puasanya terpenuhi syarat-syaratnya dan terjaga adab-adabnya- menjadi berkurang.
  • Atau kemungkinan makna lain bahwa yang diikat hanyalah sebagian setan-setan saja, yaitu setan-setan pembangkang, bukan semuanya, sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat.
  • Atau yang dimaksud adalah berkurangnya keburukan di bulan tersebut, dan ini adalah perkara yang dapat dirasakan, karena terjadinya keburukan (kemaksiatan) menjadi berkurang di bulan ini dibandingkan dengan di bulan selainnya.
“Di samping itu, seandainya semua setan diikat pun, hal itu bukan berarti tidak akan terjadi keburukan dan kemaksiatan sama sekali, karena semua itu dapat terjadi karena sebab selain (godaan) setan, seperti jiwa yang buruk, kebiasaan yang jelek atau karena (godaan) setan jenis manusia” (Sumber: Fathul Bari).
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawash Shiyam, ditanya: “Bagaimana mengkopromikan antara pembelengguan setan-setan di bulan Ramadhan dengan terjadinya kemaksiatan yang dilakukan manusia?”.
Beliau menjawab, “Kemaksiatan yang terjadi di bulan Ramadhan tidaklah bertentangan dengan adanya riwayat (yang menyebutkan) bahwa setan-setan dibelenggu di bulan Ramadhan, karena  pembelengguan mereka tidak menghalangi (secara totalitas) gerakan mereka menggoda, oleh karena itu ada sebuah riwayat dalam sebuah hadits,

وَيُصَفَّدُ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ ، فَلَا يَخْلُصُوا إِلَى مَا كَانُوا يَخْلُصُونَ إِلَيْهِ فِي غَيْرِهِ

Dan dibelenggu di dalamnya setan-setan pembangkang, sehingga tidak bebas melakukan godaan sebagaimana kebebasan mereka melakukannya di selain bulan Ramadhan‘ (HR. Ahmad 7857)”.
Dan Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’ifut Targhib 586, beliau berkata “(Hadits ini) Lemah sekali”.
Bukanlah maksudnya setan-setan tidak bergerak menggoda sama sekali, bahkan mereka masih bisa bergerak menggoda, menyesatkan orang yang bisa disesatkan, namun godaannya di bulan Ramadhan tidak sebagaimana godaannya di bulan selainnya.
Wallahu a’lam.
Sumber : http://islamqa.info/ar/37965

18 Jun 2015

Gosok Gigi Ketika Puasa dan Hukum Memakai Odol


Gosok gigi dianjurkan dalam setiap keadaan, baik ketika puasa maupun di luar puasa, baik di pagi hari maupun siang hari. Dalilnya:

1). Hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاةٍ

“Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya perintahkan mereka untuk gosok gigi setiap hendak shalat.” (HR. Bukhari, no. 887)

2). Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Bersiwak bisa membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Allah.” (HR. Nasa’i dan dishahihkan al-Albani)

Hadis ini dalil dianjurkannya bersiwak dalam setiap keadaan. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan untuk siapapun. Sehingga keumuman hadis mencakup orang yang puasa dan orang yang tidak puasa.

Demikian pula dibolehkan menelan ludah setelah bersiwak. Kecuali jika ada sisa makanan di mulut maka harus dia keluarkan. Selanjutnya, dia boleh menelan ludahnya. Sebagaimana orang yang puasa kemudian berkumur, dia mengeluarkan air dari mulutnya, setelah itu dia boleh menelan ludahnya, dan tidak harus mengeringkan mulutnya dari air yang dia gunakan untuk berkumur.
Imam an-Nawawi mengatakan,

Al-Mutawalli dan ulama lainnya mengatakan, Ketika orang yang puasa berkumur maka dia pasti akan memasukkan air ke dalam mulutnya. Dan tidak wajib mengeringkan mulutnya dengan handuk atau semacamnya, dengan sepakat ulama. (Al-Majmu’, 6: 327)

Imam Al-Bukhari mengatakan,

Bab: bolehnya bersiwak dengan siwak basah atau kering bagi orang yang puasa. Kemudian beliau membawakan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap wudhu.’ Al-Bukhari mengatakan, ‘Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan untuk orang yang puasa.’…. Atha’ dan Qatadah – keduanya adalah tabi’in – mengatakan, ‘Orang puasa boleh menelan ludahnya.’ (Shahih Bukhari, 7:234)

Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,  ‘Dengan bab ini beliau mengisyaratkan bantahan untuk orang yang menganggap makruh menggunakan siwak basah bagi orang yang puasa… telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ibn Sirin meng-qiyaskan siwak basah dengan air yang digunakan untuk berkumur.’ (Fathul Bari, 4:158)

Disadur dari Islamqa.com

16 Jun 2015

Kesalahan Umum dalam Shalat


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal hamba yang pertama kali akan dihisab adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, dia sukses dan berhasil, dan jika shalatnya rusak, dia sangat rugi” (HR. Nasa-i, Turmudzi, dan dinilai shahih oleh Al Albani).

Semua orang yang memahami hadits ini sangat menyadari, betapa pentingnya nilai shalat dalam syariat. Dan untuk bisa mendapatkan nilai sempurna dalam shalat, hampir tidak mungkin dilakukan oleh hamba mengingat banyaknya kekurangan yang kita lakukan. Sekalipun ini hampir tidak mungkin, namun setidaknya kita berusaha nilai amal shalat kita mendekati sempurna. Diantara usaha yang bisa kita lakukan adalah menekan semaksimal mungkin angka kesalahan yang terjadi selama kita shalat.

Dua Kesalahan dalam Shalat
Dalam shalat kita mengenal ada gerakan atau bacaan yang statusnya sebagai rukun shalat, wajib shalat, dan sunah shalat. Karena itu, kesalahan yang dilakukan masyarakat ketika shalat, bisa kita kelompokkan menjadi dua :

Pertama, kesalahan yang bisa membatalkan shalat. Itulah semua kesalahan yang bisa mengurangi kadar rukun atau wajib shalat. Sehingga dia dianggap belum mengerjakan rukun atau wajib shalat tersebut.

Kedua, yang tidak sampai membatalkan shalat. Kesalahan ini tidak sampai mengurangi kadar rukun atau wajib shalat.

Kesalahan yang Sering Terjadi Dalam Shalat
Berikut beberapa kesalahan yang sering dilakukan kaum muslimin ketika shalat. Sebagian ada yang mengancam keabsahan shalatnya dan sebagian tidak sampai membatalkan shalat.

[1] Tidak thuma’ninah
Yang dimaksud thuma’ninah adalah posisi tubuh tenang ketika melakukan gerakan rukun tertentu. Ukuran tenangnya adalah mencukupi untuk membaca satu kali do’a dalam rukun tersebut. Misalnya, thuma’ninah ketika ruku’, artinya posisi tubuh tenang setelah ruku’ sempurna. Kemudian baru membaca do’a ruku’, minimal sekali.

Sering kita saksikan, beberapa kaum muslimin tidak thuma’ninah. Mereka ruku’ dan sujud terlalu cepat. Begitu sampai titik ruku’ atau sujud, langsung bangkit. Ada kemungkinan, do’a ruku’ sudah dibaca ketika bergerak ruku’, sebelum ruku’ sempurna. Shalat model semacam ini batal karena tidak thuma’ninah.

Suatu ketika ada seseorang yang masuk masjid kemudian shalat dua rakaat. Seusai shalat, orang ini menghampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Namun Nabi menyuruh orang ini untuk mengulangi shalatnya. Setelah diulangi, orang ini balik lagi, dan disuruh mengulangi lagi shalatnya. Ini berlangsung sampai 3 kali. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya cara shalat yang benar. Ternyata masalah utama yang menyebabkan shalatnya dinilai batal adalah kareka dia tidak thuma’ninah. Dia bergerak ruku’ dan sujud terlalu cepat. (HR. Bukhari & Muslim).

Hadits ini mejadi dalil bahwa thuma’ninah dalam shalat termasuk rukun shalat. Untuk menanggulanginya, tahan ketika kita sudah sempurna ruku’, atau sujud, kemudian baru baca do’a ruku’ atau do’a sujud.

[2] Was-was ketika takbiratul ihram
Kesalahan kedua ini banyak dialami oleh mereka yang berkeyakinan harus berbarengan persis antara niat di hati dan ucapan takbiratul ihram. Jika ada sedikit yang mengganggu dalam proses niatnya, dia langsung membatalkan diri dan mengulangi takbiratul ihram.

Perbuatan ini sejatinya telah diperingatkan para ulama. Berikut para ulama yang memberikan peringatan akan hal ini,

1. Ibnul Jauzi mengatakan, “Ada juga orang yang bertakbir kemudian dia batalkan takbirnya, bertakbir lagi, dia batalkan lagi, ketika imam mendekati ruku’, barulah orang yang terjangkiti was-was ini berhasil bertakbir, lalu mengejar ruku’ imam. Sungguh aneh, mengapa dia baru berhasil niat ketika itu! Semua ini terjadi karena tipuan iblis yang menggodanya agar dia kehilangan keutamaan takbiratul ihram bersama imam.” (Talbis Iblis, hlm. 169).

2. Imam Asy Syafi’i mengingatkan, “Was-was ketika niat shalat dan bersuci adalah bentuk kebodohan dengan syariat dan kurang akalnya.” (Al Qaulul Mubin fi Akhtha Mushallin, hlm. 93).

Untuk mengobati penyakit ini, yakinkan bahwa anda sudah niat, tidak perlu diulangi, dan baca takbiratul ihram sekali. Inilah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila kamu ingin shalat, wudhulah dengan sempurna, lalu menghadaplah ke arah kiblat, dan bertakbirlah” (HR. Bukhari). Anda perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan bacaan apapun sebelum shalat dan beliau hanya mengajarkan takbir sekali.

[3] Imam salah dalam membaca Al Fatihah
Ketika seseorang merasa tidak bisa baca Al Fatihah dengan baik, seharusnya dia tidak nekat untuk maju menjadi imam. Karena ini mengancam keabsahan shalat makmumnya. Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang salah bacaan Al Fatihah-nya yang menyebabkan perubahan makna (pada ayat-red), menurutku shalatnya tidak sah, tidak sah pula orang yang shalat di belakangnya. Jika salah di selain Al Fatihah, aku membencinya, meskipun tidak wajib mengulangi. Karena jika dia tinggalkan selain Al Fatihah dan hanya membaca Al Fatihah, saya berharap shalatnya diterima. Jika shalatnya sah maka shalat makmum juga sah insya Allah. Jika kesalahannya pada Al Fatihah atau lainnya, namun tidak mengubah makna, shalatnya sah, namun saya benci dia jadi imam, apapun keadaannya.” (Al Umm, 1/215)

[4] Sedekap miring
Sebagian orang bersedekap dengan meletakkan kedua tangan tepat di atas jantungnya, atau di atas organ hatinya. Tidak ada satupun yang memberikan dalilnya. Mereka merasa, shalat dengan cara itu, hatinya atau jantungnya akan lebih tenang.

Kita semua sepakat, shalat yang paling sempurna adalah shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bersedekap dengan cara demikian. Artinya, itu bukan metode agar shalat kita menjadi khusyu.

Masalah berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat seperti layaknya orang yang berkacak pinggang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat sambil ikhtishar ” (HR. Bukhari).

Ikhtishar adalah meletakkan satu tangan di atas pinggang atau kedua tangan di atas kedua pinggang. (Sunan Turmudzi keterangan hadits no. 384). Sementara kita memahami, orang yang bersedekap miring, menyebabkan salah satu sikunya keluar jauh dari tubuhnya, layaknya orang yang berkacak pinggang.

[5] Tidak ruku’ atau i’tidal dengan sempurna
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah melihat ada orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud ketika shalat. Setelah selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama Anda shalat semacam ini?” Orang ini menjawab, “40 tahun”. Hudzaifah mengatakan, “Engkau tidak dihitung shalat selama 40 tahun (karena shalatnya batal-pen)”. Lanjut Hudzaifah, “Jika kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas fitrah (ajaran) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari)

Hadits ini berbicara tentang orang yang tidak sempurna dalam melakukan gerakan rukun dalam shalat. Misalnya, orang yang ruku’, sebelum posisi ruku’ sempurna, dia sudah bangkit. Atau orang yang belum sempurna berdiri i’tidal (tubuh masih condong ke depan), dia sudah sujud.

[6] Tidak menempelkan hidung ketika sujud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar orang yang sujud benar-benar menempelkan hidungnya ke lantai. Beliau bersabda, “Allah tidak menerima shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdurrazzaq, dan dinilai shahih oleh Al Albani). Hadits ini menunjukkan menempelkan hidung ketika sujud hukumnya wajib.

[7] Membuka tangan ketika salam
Salam ke kanan, membuka tangan kanan, salam ke kiri dengan membuka tangan kiri. Kebiasaan ini pernah dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ”Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu’alaikum wa rahmatullah – Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua tangan ke samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, ”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di paha kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya” (HR. Muslim).


Buletin At Tauhid http://ayo.dakwah.in/1HuqNJW
Penulis : Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.I.S (Dewan Pembina situs www.konsultasisyariah.com)
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.PI

12 Jun 2015

Maafkan Aku Ibu, Aku Telah Melupakanmu


Dalam sebuah majelis ilmu seorang guru bercerita kepada para jama’ah tentang sebuah kisah yang diceritakan oleh seorang syaikh di Saudi Arabia. Semoga cerita ini bisa menginspirasi kita semua agar senantiasa mencurahkan kasih saying dan selalu berlaku lemah lembut kepada ibu dan ayah kita.

Terdapat sebuah keluarga yang cukup mapan di salah satu kota di Saudi Arabia. Keluarga ini cukup bahagia dan telah dikaruniai beberapa orang anak. Suatu siang sang istri berkata kepada sang suami dengan penuh kelembutan, “wahai suamiku, apakah malam ini kau tidak ingin pergi berkencan dengan wanita lain?”. Sang suami kaget dengan perkataan istrinya tersebut, “wahai istriku, bagaimana mungkin kau bisa berkata demikian sementara hanya kau perempuan yang aku cintai didunia ini”, ucap sang suami. “Lupakah engkau bahwa kau masih memiliki seorang ibu yang telah membesarkanmu? Pergilah engkau bersamanya mala mini, sungguh berapa lama engkau tidak mengunjunginya?”. Sang suami mulai berfikir dengan ucapan istrinya tersebut. Selama ini sang suami terlena dengan perhiasan dunia(istri dan anak-anak) sehingga ia melupakan ibu kandung yang telah membesarkan dan mendidiknya. Perkataan sang istri sungguh menampar hati sang suami, ia menangis sembari memeluk istrinya dan berbisik, “wahai istriku, sungguh beberapa tahun ini aku belum sekalipun menemui ibuku, aku akan menemuinya malam ini dan akan mengajaknya makan malam di tempat makan kesukaannya”.

Sang suami langsung menelepon sang ibu. “wahai ibuku, apakah kabarmu baik-baik saja?”, ucapnya sambil menutupi kesedihannya. Sang ibu yang mendengarkan suara anaknya terisak-isak lantas bertanya, “wahai anakku, apa yang sedang terjadi dengan engkau? Mengapa engkau menangis? Apakah istri dan anak-anakmu baik-baik saja?”. Sang anak menjawab, “Semua baik-baik saja, aku merindukan ibu. Aku akan segera menjemput dan mengajak ibu makan malam”. Setelah mengakhiri percakapan tersebut sang anak segera berangkat kerumah si ibu. Sang ibu merasa sangat bahagia atas apa yang dilakukan anaknya tersebut. Sang ibu sudah lama menjadi seorang janda, ia hidup sendiri dirumahnya dalam usia yang sudah cukup lanjut. Lantas ia segera menyiapkan diri dan langsung menunggu kedatangan anaknya didepan pagar rumahnya. Tetangga yang melihat merasa heran karena tidak seperti biasa si ibu pergi dengan penampilan yang sangat rapih.

Sambil menunggu anaknya tiba, sang ibu berbincang dengan tetangga. Sang ibu selalu memuji dan membanggakan anaknya didepan para tetangga, walaupun sebenarnya beberapa tahun terakhir sang anak mulai “melupakan” ibunya yang sudah tua renta tersebut. Sang anakpun tiba dan langsung memeluk si ibu dan meminta maaf kepadanya. “Wahai anakku, tidak ada yang perlu aku maafkan karena kau tidak pernah berbuat sesuatu yang membuatku kecewa” ucap sang ibu kepada anaknya dengan penuh ketulusan. Padahal selama ini sang ibu sangat merindukan kedatangan anaknya ini, namun sang ibu tidak ingin mengganggu dan menjadikan dirinya sebagai beban untuk anaknya ini. Jikalau kerinduan yang dirasakannya tidak terbendung sang ibu senantiasa mengadu kepada pemilik hati seluruh umat manusia, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kepada-Nya ia mengadu dan hanya kepada-Nya ia berkeluh kesah dan mendoakan kebaikan untuk anaknya tersebut.

Sesampainya di tempat makan favorit ibunya, mereka duduk dan memesan makanan. “Ibu silakan pilih makanan apa saja yang ingin engkau makan, akan aku pesankan untukmu”, ucap sang anak. Si ibu berkata, “Wahai anakku, mataku sudah tidak bisa melihat apa yang tertera didaftar menu ini. Bisakah kau membacakannya untukku?” ucap sang ibu mengharapkan kemesraan yang akan diberikan anaknya. “Baiklah, aku bacakan menu apa saja yang tersedia sebagaimana dulu ibu pernah membacakannya saat aku masih kecil” ucap sang anak. Akhirnya mereka memesan makanan dan saling berbincang.

Setelah mereka puas menyantap makanan dan puas berbincang sang anak berkata kepada sang ibu, “wahai ibu yang aku cintai, kapan kita bisa pergi seperti ini lagi?”. Sang ibu menjawab, “Baiklah, minggu depan aku akan mentraktirmu makan disini. Tapi engkau harus mengajak istri dan anak-anakmu, sungguh aku merindukan mereka”. “Baiklah wahai ibuku”, ucap sang anak. Akhirnya sang anak mengantarkan sang ibu pulang. Sang anak sudah tidak sabar akan datangnya minggu depan, karena ia akan menemui ibunya lagi bersama dengan istri dan anak-anaknya.

Beberapa hari berlalu, hingga ada sebuah telepon yang datang. Telepon tersebut dari pengasuh yang tinggal bersama sang ibu. Ia mengabarkan kepada si anak bahwa sang ibu dirawat dirumah sakit sejak satu hari setelah pertemuannya dengan beliau beberapa hari yang lalu. Mendengar kabar tersebut, sang anak langsung menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sesampainya dirumah sakit, ia langsung menuju tempat dimana sang ibu dirawat, namun takdir dari Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa sang ibu harus meninggalkan anak tersebut karena suatu penyakit yang telah lama dideritanya. Ia sangat terpukul dan sangat sedih dengan kejadian ini. Ia merasakan sudah lama ia melupakan ibunya, baru kemarin ia melepaskan rindunya, dan kini ia mendapati sebuah kenyataan bahwa sang ibu harus pergi untuk selama-lamanya.

Beberapa hari kemudian ada telepon untuk sang anak dari restoran favorit ibunya yang minggu lalu dikunjunginya. “Apakah benar ini dengan Bapak (fulan) ?” ucap karyawan restoran. “Iya benar saya adalah Bapak (fulan) ada yang bisa saya bantu?”. “Ada sebuah undangan makan malam spesial untuk anda dan keluarga anda mala mini, saya harap anda bisa datang tepat waktu”, ucap karyawan tersebut. Sang anak merasa binggung dan heran dengan undangan ini. Akhirnya setelah waktunya tiba ia datang ketempat tersebut membawa serta istri dan anak-anaknya. Sesampainya di restoran tersebut sang anak dan keluarga disambut oleh para pegawai restoran dan diarahkan untuk menempati meja khusus. Sang anak bertanya kepada pegawai restoran, “sungguh siapa gerangan yang telah mengundangku dan keluargaku makan malam semewah ini?”. Pegawai restoran tidak menjawab apapun dan hanya memberikannya sepucuk surat. Ia lantas membuka dan membaca surat tersebut bersama dengan istrinya.

“Anakku yang aku cintai, sungguh hari ini adalah hari terindah dalam hidupku bisa berjumpa dan makan malam denganmu berdua. Sungguh aku sudah lupa berapa tahun yang lalu aku merasakan perlakuan ini darimu. Namun aku sangat bahagia dengan apa yang engkau berikan kepadaku hari ini, semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga engkau dan keluargamu. Ibumu ini sudah mulai tua renta dan mungkin akan segera menghadap-Nya, aku tidak ingin menjadi beban untukmu dan keluargamu. Sampai kapanpun engkau adalah anak yang aku cintai sepenuh hatiku.

Saat engkau membaca surat ini, sesungguhnya aku telah melunasi janjiku untuk meneraktirmu dan keluargamu makan ditempat ini. Aku sudah pesankan makanan kesukaanmu, makanan kesukaan istrimu, dan makanan kesukaan anak-anakmu. Sungguh aku merindukan momen saat berkumpul bersama kalian semua. Dalam hidupku hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang menjadi tempatku mengadu dikala kesedihan melandaku. Aku berharap kalian akan menjadi keluarga yang selalu di rahmati Allah subhanahu wa ta’ala. “

Dari cerita tersebut semoga kita bisa mengambil faedah yang besar. Semoga kita semua bisa menjadi anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tua kita sampai kapanpun. Terkadang kita “melupakan” mereka disaat kita sudah menjadi orang yang mapan. Kita kadang tidak mengetahui kesedihan apa yang mereka pendam. Berbaktilah kepada mereka dan mintalah maaf kepada mereka sebelum tubuh mereka tertimbun tanah dan dimakan bumi. Bukankah Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)

wallahu ‘alam bishawab.

Sumber:  Berdakwah

7 Jun 2015

Mengaitkan Kepribadian dengan Golongan Darah, Apakah Termasuk Ramalan?


Setelah kami melihat pada beberapa jurnal dan penelitian ilmiah, ternyata tidak ada hubungan sama sekali antara karakteristik dan golongan darah. Bahkan sebuah penelitian di Jepang, di mana Jepang diberitakan sebagai sumbernya dan sempat menjadi trend di sana, hasil penelitian di Jepang tersebut menunjukkan tidak ada hubungan sama sekali.
Berikut kami nukilkan jurnal penelitiannya:
Despite the widespread popular belief in Japan about a relationship between personality and ABO blood type, this association has not been empirically substantiated. This study provides more robust evidence that there is NO RELATIONSHIP between blood type and personality, through a secondary analysis ofLARGE-SCALE survey data. Recent data (after 2000) were collected using large-scale random sampling from OVER 10,000 PEOPLE in total from both Japan and the US. Effect sizes were calculated. Japanese datasets from 2004 (N = 2,878–2,938), and 2,005 (N = 3,618–3,692) as well as one dataset from the US in 2004 (N = 3,037–3,092) were used. In all the datasets, 65 of 68 items yielded non-significant differences between blood groups. Effect sizes (η2) were less than .003. This means that blood type explained less than 0.3% of the total variance in personality. These results show the NON-RELEVANCE of blood type for personality”.1
Kami pun sekarang sedang menempuh spesialis patologi klinik yang salah satu fokusnya adalah mempelajari darah, komponen serta penyakit terkait dengan darah. Sejauh yang kami pelajari, tidak dijumpai ada komponen atau zat dalam setiap golongan darah yang bisa menyebabkan perbedaan sifat atau mempengaruhi karakter khas seseorang berdasarkan golongan darah. Selain itu jika kita mepelajari lebih detail, golongan darah banyak jenis dan pengelompokannya, bukan hanya golongan A, B, AB dan O.
Secara rasional pun, terlalu sempit jika membatasi sifat manusia yang sangat banyak hanya dengan empat golongan darah saja. Misalnya, betapa banyak orang bergolongan darah O yang sangat pemarah, ada pula orang bergolongan darah O yang sangat sabar dan ada pula yang tengah-tengah.

Jika terbukti tidak ada hubungannya sebaiknya dijauhi

Meskipun hanya iseng dan sekedar main-main saja, sebaiknya dijauhi. Karena hal ini dikhawatirkan termasuk meramal yang dilarang dalam agama dan termasuk kesyirikan yang merupakan larangan terbesar dalam agama. Sebagaimana zodiak dan menebak-nebak nasib, sifat karakter dan peruntungan.
Perlu dibedakan antara ramalan dan prediksi berdasarkan indikasi. Ramalan tidak diperbolehkan, sedangkan prediksi boleh. Agar lebih paham beda ramalan dan prediksi, perlu diketahui mengenai hukum sebab-akibat.
Sebab ada dua yaitu sebab syar’i dan sebab qadari.
1. Sebab syar’i:
Sebab yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini bisa kita sebut sebagai sebab walaupun tidak atau hanya belum terbukti secara ilmiah, dengan penelitian atau logika. Karena yang menyatakannya sebagai sebab adalah kabar dari Allah Ta’ala dan hadits Nabi (yang juga bersumber dari Allah Ta’ala). Tentu Allah Subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui ciptaan-Nya.
Contoh:
  • Maksiat menyebabkan bencana.
  • Doa dan sedekah bisa menyembuhkan penyakit.
  • Sahabat meruqyah yang terkena racun kalajengking, cukup dibacakan dengan Al-Fatihah saja dan langsung sembuh saat itu juga.
2. Sebab qadari:
Yaitu sebab yang dibuktikan dengan pengalaman, logika dan penelitian ilmiah sebagai sebab dari sesuatu. Sebab qadari ada yang dengan cara halal/benar dan ada juga yang haram. Contohnya:
  • sebab qadari yang halal/benar, misalnya: api bisa membakar, rajin belajar bisa pandai, jatuh akan membuat sakit, buang sampah di sungai bisa menyebabkan banjir, dll.
  • sebab qadari yang haram: dengan mencuri bisa dapat harta.
Jika mengaitkan suatu hal, pada sebab yang bukan sebab syar’i maupun sebab qadari, maka ini berarti mengaitkan sesuatu bukan pada sebabnya. Dan ini bisa menjerumuskan orang pada perbuatan khurafat, tahayul, dan meramal hal gaib.
Pada kasus menebak karakteristik berdasarkan golongan darah bisa jadi masuk dalam hal ini, karena tidak terbukti secara sebab syar’i maupun sebab qadari. Maka ini dikhawatirkan menebak yang termasuk meramal.
Adapun prediksi atau ramalan yang sifatnyahissiy (memiliki komponen nyata yang bisa diukur) dan taqdiri (terukur) hukumnya boleh karena ada indikasi sebab-akibat, misalnya ramalan (prediksi) cuaca, meramal kapan buah dari suatu tanaman bisa dipetik, memprediksikan keuntungan perusahaan di akhir bulan, dll.

Kenapa meramal bisa termasuk kesyrikan

Karena meramal berarti mengklaim bisa mengetahui hal ghaib. Sedangkan hal ghaib adalah hak khusus Allah saja, hanya Allah yang tahu hal gaib. Allah Ta’ala berfirman.
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah, tidak ada satupun di langit dan dibumi yang mengetahui hal ghaib, kecuali Allah. (QS. An-Naml: 65).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
Karenanya zodiak atau perbintangan dan menebak sifat dan peruntungan dengan menggunkan ilmu nujum dilarang dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ، اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
Siapa yang mempelajari ilmu nujum(perbintanga/zodiak), berarti dia telah mempelajari sepotong bagian ilmu sihir. Semakin dia dalami, semakin banyak ilmu sihir pelajari. (HR. Ahmad, dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Termasuk dalam hal ini adalah anggapan sial (thiyarah), misalnya golongan darah atau zodiak ini berarti sedang kurang beruntung dalam masalah keuangan dan asmara. Padahal tidak ada sebab dan indikasinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا
Thiyarah itu syirikthiyarah itu syirik, (3 kali)” (HR. Ahmad, dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).
Demikian juga dilarang mendatangi dukun dan peramal. Walaupun hanya sekedar iseng-iseng saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّد
Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu ia mempercayai ucapan dukun atau peramal tersebut maka ia telah kafir terhadap (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam-.” (HR. Ahmad, lihat Ash-Shahihah: 3387)

Kesimpulan

Sebaiknya hindari meramal karakteristik berdasarkan golongan darah walaupun sekedar iseng saja, karena tidak terbukti baik secara syar’i maupun qadari dan dikhawatirkan terjerumus dalam kesyirikan yang merupakan larangan terbesar dalam agama dan pelakunya bisa terancam kekal di neraka.
Demikian semoga bermanfaat.
***
@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

2 Jun 2015

Cara Menjadi Orang yang Berbahagia


Jika di antara kita yang bertanya-tanya bagaimanakah cara untuk menjadi orang yang berbahagia, maka Allah sudah memberikan jawabannya dengan firman-Nya,

ٌّفَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha: 123-124)

Dan juga dalam firman-Nya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Kebahagiaan seorang mukmin semakin bertambah ketika dia semakin dekat dengan Tuhannya, semakin ikhlas dan mengikuti petunjuk-Nya. Kebahagiaan seorang mukmin semakin berkurang jika hal-hal di atas makin berkurang dari dirinya.

Seorang mukmin sejati itu selalu merasakan ketenangan hati dan kenyamanan jiwa. Dia menyadari bahwasanya dia memiliki Tuhan yang mengatur segala sesuatu dengan kehendak-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh menakjubkan keadaan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya seluruh keadaan orang yang beriman hanya akan mendatangkan kebaikan untuk dirinya. Demikian itu tidak pernah terjadi kecuali untuk orang-orang yang beriman. Jika dia mendapatkan kesenangan maka dia akan bersyukur dan hal tersebut merupakan kebaikan untuknya. Namun jika dia merasakan kesusahan maka dia akan bersabar dan hal tersebut merupakan kebaikan untuk dirinya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Inilah yang merupakan puncak dari kebahagiaan. Kebahagiaan adalah suatu hal yang abstrak, tidak bisa dilihat dengan mata, tidak bisa diukur dengan angka-angka tertentu dan tidak bisa dibeli dengan rupiah maupun dolar. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dirasakan oleh seorang manusia dalam dirinya. Hati yang tenang, dada yang lapang dan jiwa yang tidak dirundung malang, itulah kebahagiaan. Bahagia itu muncul dari dalam diri seseorang dan tidak bisa didatangkan dari luar.

1 Jun 2015

Ada Apa Saudi dengan Islam ?


Sobat! Disaat terjadi kejadian yang merugikan Islam, betapa sering kita mendengar atau membaca atau bahkan mungkin kita salah satu dari mereka yang berkata: Kemana Saudi? Apa Peran Saudi? Mengapa Saudi Demikian? Mengapa Saudi Tidak Menyerang Israel? Dan masih banyak lagi ungkapan senada.

Sobat! Ijinkan saya bertaya: memangnya Islam itu agamanya siapa? Apakah Islam milik Saudi? Lalu anda sendiri apa agama yang anda yakini? Dan menurut anda apakah Islam adalah Saudi dan sebaliknya apakah Saudi adalah Islam?

Bila Islam adalah Saudi maka sial besar bagi selain warga negara Saudi Arabia, karena tidak akan pernah bisa menjadi ummat Islam.

Namun bila sebaliknya Saudi adalah Islam, maka kerugian besar pula bagi ummat seluruh ummat Islam di berbagai belahan bumi lainnya, karena ternyata pemahan dan praktek keislamannya berbeda dengan yang dipahami dan diamalkan oleh masyarakat Saudi Arabia.

Sobat! Saya yakin anda memahami bahwa Saudi Arabia hanyalah bagian dari Ummat Islam, yang kebetulan mendapat karunia dari Allah berupa menaungi dua kota suci Islam; Makkah dan Madinah.

Saya juga yakin bahwa anda telah memahami bahwa Islam anti dengan yang namanya fanatik golongan dan negara. Islam mengajarkan agar ummatnya bersatu karena iman bukan karena kesukuan atau kenegaraan.

Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara. (Al Hujurat 10)

Karena hanya iman yang menyatukan ummat Islam maka wajar bila orang yang paling mulia adalah orang yang paling sempurna imannya.

Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, sejatinya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (AL Hujurat 13).

Bila demikian, mengapa ada ucapan: kemana Saudi? Apa yang dilakukan oleh Saudi?

Walaupun pada kenyataannya Saudi dalam urusan sholat; zakat; puasa dan haji telah membuktikan kesungguhannya melebihi kebanyakan orang yang membencinya.

Bukankah akan lebih bijak bila kita berkata: kemanakah saya? Apakah yang telah saya lakukan untuk Islam? Atau bahkan : sudahkah saya mengenal Islam dengan sebenarnya? Ataukah selama ini saya hanya kenal kulit dan namanya semata. Adapun isi dan intinya masih jauh dari jangkauan kita.

Anda pasti menyadari bahwa sebagaimana diri anda dan juga diri saya selama ini berlumuran dan belepotan dengan kekurangan dan kesalahan, belum banyak yang kita lakukan untuk Islam. Maka demikian juga halnya dengan Saudi Arabia, mereka juga manusia biasa tak ubahnya kita semua. Namun coba bandingkan, apa yang telah anda lakukan dengan yang dilakukan oleh Saudi Arabia?

Bila anda berkata: mengapa Saudi tidak memerangi Israel? Maka coba lontarkan pertanyaan serupa kepada diri anda sendiri: mengapa anda atau bahkan negara anda juga tidak memerangi Israel?

Bila anda berkata: Saya tidak atau belum mampu maka tidakkah anda menyadari bahwa hal serupa juga terjadi dengan Saudi Arabia?

Sobat! Bila kita menyadari Islam adalah agama kita bersama, mengapa selama ini dalam diri kita hanya ada semangat untuk menjadi penonton dan bukan sebagai pelaku perjuangan dan penegak Islam?

Adakah yang salah dengan diri kita?

Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri.